Setiap ide, uneg-uneg, kekecewaan, kepuasan, kebahagiaan, atau apa saja perasaan dan suasana hati, selalu menjadi sesuatu yang memuaskan jika dituangkan dalam bentuk tulisan.
saat ini kita seperti sebuah jembatan
di tengah ketidakpastian seperti garpu yang hendak menerkam
lihat di bawah kita yang menangis, menengadah mengulur tangan
meminta dua koma lima persen isi dompet kita, dan kita sering mengacuhkan mulut mereka yang sebenarnya lelah memaki perut, yang juga sebenarnya lelah memaki mulut yang tidak memberinya sebulir nasi seharian atau lebih.
sementara di atas kita ada yang congkak terbahak
bernyanyi di pintu mobil mereka seperti orang gila
atau menganggukkan kaki, sementara tangan terongkang-ongkang menghitung rupiah dengan sempoa.
tak peduli lagi yang di bawah jembatan
seperti tak ada kehidupan di bawah jembatan
atau mungkin hanya binatang yang ada di bawah jembatan.
ironi memang.
memang ironi.
cobalah bertukar takdir
yang di atas sesekali berziarah ke bawah, atau mungkin harus terkubur sehari saja di bawah jembatan sana.
sementara sehari biarkan yang di bawah melongok ke atas, atau mungkin bernyanyi sehari saja di atas jembatan.
Teras, 22 Desember 2009.
hidupku atas bawah
sehari lalu ku mengapung di atas awan sana
dua hari lalu ku tenggelam di bawah dipan bumi; dalam sekali…
dan hari ini ku sedikit oleng
dihempas asap knalpot penuh debu, dari mobil-mobil plat merah.
atau diterpa dengus nada nafas para penyamun dari rumah siput.
itu sedikit hari tentangku kemarin.
dan sebenarnya setiap hari aku dan jelata teroleng linglung.
oleh hela lagu para pencopet kelas atas, hasil perkawinan silang pribumi jalang dan mafia kakap sisilia.
anehnya ku tetap bisa bertahan bersama jelata yang kemarin, hari ini, dan mungkin besok akan tetap menangis bersama, meratapi diri serupa ayam bertelur di ujung tanduk penghuni siput.
aku dan jelata benar-benar oleng.
Teras Depan, 22 Desember 2009.
sejenak mati suri saja
ada kataku menawarkan kematian
namun sejenak saja
agar engkau mengerti terjalnya kerikil makam
atau gelapnya kafan usang tak berbusa wangi
atau jerat tali yang merapalmu yang berjumlah tiga; kepala, pinggang, dan kaki.
dan tangis terakhir pelayat di akhir temumu dengan hawa panas dunia ini.
sejenak saja mati suri.
temani semenit saja mayat-mayat di bawah sana.
tanyakan sebab lidah mereka terpotong garpu; mungkin pendusta.
sebab tangan dan perut mereka menjerit terbahak, layaknya si gila di bawah akasia samping kuburmu sendiri; pencuri.
sejenak saja mati suri.
mati suri saja sejenak.
Di bawah langit, 22 Desember 2009.
pencuri di garis lunak
biasanya kubertemu pencuri berotak janda, ditinggal pergi hatinya yang berbuih jernih.
biasanya juga ketertegun oleh pencuri berdarah panas.
bergerigi memuncak bersamaan dengan dentuman nafsu untuk berkuasa, untuk duduk santai di kursi-kursi berjejer di rumah-rumah kaca sana.
namun tak lagi berlaku
pencuri tak lagi bermain kasar, mengukur milik manusia dengan garis keras
semuanya berubah lunak, mencuri dengan sedikit jamahan tangan halus layaknya makhluk halus teman mereka.
pencuri itu bergeser ke garis lunak, dalam mengheningkan perut kita dari jatah makan tiga kali sehari; seperti biasanya.
pencuri tak lagi bersuara keras, namun berubah lunak sedikit bersembunyi.
Perut Bumi, 23/12/09
bumi sedikit saja
sedikit saja jika hendak kecewa
sedikit saja lihat bumi ini,
tentu gerombolan pahlawan itu mesti kecewa melihatnya.
tak perlu terlalu jauh kakimu berputar di tubuh pertiwi
atau mungkin tangan dan matamu bersekutu mengerayangi bola bulat tempat peta terukir, dengan skala yang membesar sedikit saja.
coba saja lihat ke luar jendela gubuk, rumah, atau sarang reot milik kita
sedikit saja
karena yang terlihat adalah bumi yang tak pernah terlukis dalam kepala dingin gerombolan pahlawan yang terhormat itu.
coba saja cari gelombang radio semaumu, namun sedikit saja
karena yang akan kau dengar adalah bumi yang sebenarnya juga merintih dan memaki kita; siapa yang tahu?
namun benar kita tak perlu bersedih.
ulurkan tanganmu dan cobalah kau pangku bumi
tak perlu sungkan.
tak perlu sedikit.
coba saja kau buat bumi tertawa sebanyak mungkin.
Dengan Harapan, 23/12/09
setelah itu mati saja
aku pernah menanggung malu
dicaci semut yang masih berbaris mengolah nafkah.
lihat pembesar yang merebut sebutir jagung di kerumunan ayam-ayam itu, sementara mereka menanggalkan malu di atas tempat tidur mereka.
yang mereka tahu hanya perut yang semakin buncit di sapu sedikit saja matahari yang muak melihatnya.
tak ada kata gotong royong dalam pencarian mereka, seperti dongeng sebelum tidur yang kakek ceritakan dulu.
aku juga pernah merintih kesakitan, setelah cicak yang enggan melepas dinding mencincangku dengan sekuntum kata-kata.
lihat lakumu yang menjijikan itu
tak pernah kah orang yang kau tuakan mengabarkanmu tentang kosakata sabar?
hingga engkau rajin berputus asa?
lalu kau mencaci dirimu sendiri yang tak beruntung hari ini.
sejenak saja kau berpikir, sejeda saja kau menunggu; tak mampu kah?
namun jika tetap tak mampu; pergi saja dari sini, setelah itu mati saja.
Tempat Tidur, 23/12/09.
logika bernasib wajar
jika engkau mendapati bakul berisi emas memenuhi halaman rumahmu
tak pantas engkau lahap dengan lidah menjulur penuh meraihnya, sebab itu bukan untukmu.
tanyakan langit yang saat itu menengokmu, atau pelangi yang menghiasi kemarau saat itu.
jika engkau mendapati sebuah taman tak bertuan dipenuhi berkarung-karung nasi
tak pantas engkau tergesa memeluknya, sebab itu juga bukan milikmu.
tanyakan bunga yang tersenyum sinis jika engkau melumat buliran-buliran nasi tersebut.
maka coba saja berpikir wajar,
semenit kemudian coba bernasib wajar.
jangan mengail yang bukan milikmu, karena semua akan tertawa tersedu-sedu melihatmu merampas yang bukan milikmu.
dan saat itu engkau sendiri menangis terbahak-bahak menanggung nasib yang tak wajar karena ulahmu sendiri.
Depan Gelas Kopi, 23/12/09.
kampoeng di otak leluhur
gunung-gunung akan berbaris rapi, menuju lautan tempat saudara-saudaramu memakan kepiting setiap senja.
langit akan sejuk tertawa dengan saudara-saudaramu memanen padi tiga bulan sekali.
bumi juga akan setia memikul langkahmu, serta saudara-saudaramu yang sibuk mencari hidup.
leluhur bermimpi seperti itu; dulu.
namun gunung-gunung tak lagi berbaris bersama lautan.
tak ada lagi saudara-saudara yang menangkap kepiting, ikan, paus, dan lain sebagainya.
langit tak lagi bisa tersenyum, apalagi terpingkal-pingkal.
tak ada lagi saudara-saudara uang memanen padi.
dan bumi tak pernah lagi setia menahan langkah-langkah conkak kita.
atau saudara-saudara kita yang tenang memahat hidup.
dan leluhur terpaksa kecewa menontonnya.
Kamar Kost, 23/12/09.
sebenarnya sama saja
retinaku yang tetap menatap
meski alis tak sempat berbaris
seperti parade pasukan semut menyambut kemerdekaannya
tetap menatap yang setiap saat mengalir membentuk leksikon cerita
namun untuk mereka yang ingin merintih
menahan sakit goresan liukan air
yang tak sempat lagi menghapus dahaga
mereka yang sakit menahan perih tusukan bulir-bulir beras yang tak lagi mengenyangkan
merintihlah di mataku
dan retinaku akan membicarakannya
untuk para pembesar di rumah siput
agar air tak lagi menggores
dan beras tak lagi menusuk
DIBS, 14/12/09
surat seorang kakek
untuk semua yang masih bisa membaca aksara dan alifbata
untuk semua yang masih berjenis kelamin
untuk semua yang masih bisa menggelembungkan perutnya seperti balon ulang tahunku dulu
untuk mereka yang menciptakan kata retorika
untuk mereka yang berbicara struktur, prinsip, wacana, dan target
dan untuk mereka yang masih bisa berbicara sepanjang hari hingga mulutnya berembun busa.
sudahkah aksaramu mengikat dunia?
atau retorikamu tak terkekang wacana?
kemudian berubah layaknya palapa di tangan gajah mada?
bisakah busa mulutmu berkurang seliter demi seliter?
hingga struktur, prinsip, atau targetmu tak lagi disebut fana?
sudahkah/
DIBS, 14/12/09
anakku..
jika siang nanti ayah tak tampak di batang pintu sana
atau tak menyapa ibumu di dekat panasnya panci dalam dapur
jangan mencari ayah di jalan menuju gedung-gedung tinggi, atau rumah-rumah yang dihiasi lampu berkelas buatan abad millennium
namun carilah ayah dekat semerbak sampah sana
atau dekat jembatan usang yang hampir roboh
atau dekat kuburan orang-orang yang terpaksa melepaskan nyawa lantaran tak kuasa menikahi perut dengan sedikit nasi sebagai maskawin
atau mungkin di tengah kumpulan orang-orang kecil yang kebingungan melihat tingkah aneh majikannya
karena ayah mati sebagai orang kecil yang tak berdaya melawan manusia-manusia pintar tapi menganut binatangisme sana
anakku..
banggalah pada ayah, lihatlah bagaimana ayah berkibar di atas matahari, tengoklah bagaimana ayah berbusa menghentakkan dunia dengan sedikit ide dan kreasi, walaupun ternyata itu merugikan orang lain.
namun ayah tak peduli itu, karena ayah adalah hebat, tak pantas untuk menjenguk keadaan yang kecil di sudut sana, karena mereka tak menarik bagi ayah.
lihatlah bagaimana ayah akan pulang dengan mahkota, walaupun yang kecil merintih kesakitan menyaksikannya, meski darah mereka tersimbah membentuk bandang yang mengamuk hari-hari ini.
lihatlah bagaimana ayah membunuh manusia dengan sedikit kemunafikan, dengan uang yang ayah dapat dari bawah meja, atau dedaunan yang jatuh bersama amplop-amplop pak pos pagi ini, lantaran kehebatan ayah.
maka banggalah menjadi anak ayah.
dua ayah dalam telegram; kontras.
Kamar Tidur, 27/12/09
siang yang bolong
muda yang masih lelap
semenjak mimpi hadir di dunia malam
bersama muda yang kini
masih terlelap
muda yang pagi ini telanjang
kesiangan setelah pagi berpisah embun
muda yang terakhir terlena mimpi
masih lelap telanjang
muda yang masih lelap
yang pasti tak kuasa
membalas terik siang yang sudah lama bolong
di ujung galah matahari yang berpeluh
muda yang masih lelap
banging dan seberangi siang yang sudah bolong itu
sebelum senja pun ikut bolong
bersama mimpi yang pasti hadir lagi.
DIBS, 15/12/09
tak ada lagi teriakan lantang malam-malam ini
padahal jantan mati setengah berkokok serak
menyemangati nyenyak segera berdiri
menertawakan yang masih setengah hidup
indonesia tersisa setengah
ketika teriakan horas mati penuh
hilang bersama ujung nafas para moyang
yang tersisa hanya setengah
dan lagu indonesia raya
sebatas judul pengantar kuasa
indonesia hilang setengah
pertiwi menangis penuh
tak melahirkan sanak pelipur lara
yang ada hanya manusia setengah
dalam durja bersorak penuh
ketika indonesia tersisa setengah
ketika indonesia hilang setengah
semangatnya menjauh penuh
manusianya hidup setengah
sementara pertiwi tersedu
kehilangan indonesia setengah.
DIBS, 20-01-10
lagu liang ngakak bersedih
terngiang petaka kemarin hari.
nada lahat sedan terbahak
memahat mara hari ini.
sementara besok membawa marah
mencari merah urang indonesia
dan darah merekah singkat dimusihi.
puisi petaka, merah mara, dan sajak marah
mengucap padu, satu paduan suara
urang indonesia sarapan kemarin, hari ini, dan besok
sebab ulah, ucap urang indonesia.
DIBS, 20-01-10
bukan malam; tertawa menahan tangis
kumenyebut aku bukan malam
malam sendiri yang sembab terkulai
menggambarkan di mulutnya
sengsara kasta atas
atas yang lain di pinggir jalan, terali jembatan, atau istana sampah
kutertawa ketika malam
menohok telingaku dengan drama sedih akhir pecan
setiap bulan, selalu, padahal tangis
ada jarum yang mengarah pada detak
detak-detak biasa tentang siang tadi
ada anak yang menyentil mulut ayahnya; durhaka
ada tikus sendiri di lorong menuju singgasana; durja
dan aku sendiri masih tertawa menahan tangis.
DIBS, 22-01-10
cucu menyebutnya; tikus menggeleng
sebelah kakiku linglung memegang bumi
mataku masih sebelah menatapnya gersang
matahari masih jauh dari tempatnya terbiasa tergelincir
saat aku masih muda
orok, masih cucu.
sebelah mataku, sebelah kakiku
dan matahari malu melihat para ayah
busa mulutnya menulis jelata dan sengsara
kaki dan tangannya bersorak dalam sekutu
tentang dusta tak bernomor
aku menyebutnya tikus
tikus malu-malu menggeleng pelan
murka menentang
sebab para ayah bersalah sendiri
bukan tikus yang menggeleng pelan.
DIBS, 22-01-10
jelata rungu patih tunanetra
jelata lepas dari jumawa
menyimak ilalang bergoyang liar
menyembur, menjerit, menghitung petaka di ujung-ujung berat
helaan nafas kurcaci ( jelata ) negeri
diiringi anggukan kecil dedaunan bencana
dan patih mendapat juluk tunanetra
dari pegunungan-pegunungan tinggi tempat mereka bersemedi dingin
tentang arti kata dusta
menurut bahasa dan istilah
tentang mendapatkan dedaunan kering
bergambar pahlawan
tanpa dibasahi keringat
layak jelata
sementara jelata rungu mendongak
membahas patih tunanetra
perlahan meracik nestapa.
DIBS, 23-01-10
tingkah-tingkah ini selayak rumpang berbelati
menari mencari celah untuk menusuk
rumpang-rumpang yang menyelisih dengan harap
rumpang-rumpang yang berbusana bencana
memaksa gerimis berceceran dari mata dan retina
dari jejak kita rumpang-rumpang berasal
dan liuk telapak yang membual
anggukan kecil kepala yang merapal
serta kerikil abjad dari lidah yang menghafal
hingga pada rumpang-rumpang nestapa bersimpul
rumpang-rumpang menindih
kita tergerus
perlahan merintih.
DIBS, 25-01-10
pada yang bawah kita berbincang
yang bermukim di atas
berbincang tentang yang bawah
tentang luka yang menangis
tentang jelata yang teriris
dan tentang tawa yang sering tak bias
namun tak ada gerak yang menghapus
dari yang atas
pada luka yang bawah
pada jelata yang marah
para tawa yang kalah.
DIBS, 25-01-10
Sabtu, 29 Oktober 2011
Kumpulan Puisi Archduke Jr.
Titik-titik yang koma
Ada tanda tanya melengkung membuncit seperti telunjuk yang mengait laksana mata kail
Ada juga tanda seru seperti tombak yang menghujam bumi yang mengecil laksana butir embun
Ada lagi kutip yang membungkus kata-kata yang tak layak untuk dicatat.
Seperti itu pertiwi
Ada tanda tanya yang membuatnya mengacungkan telunjuk laksana penghuni rumah siput menginterupsi tanpa makna dan tanpa niat
Ada cemas dan rasa penasaran tentang luka dari laku orang-orang yang menyebut pertiwi sebagai bunda
Ada juga saat-saat dia harus mengeraskan suara, membuka semua lorong pita suaranya, menghardik anak-anaknya yang durhaka, namun tak diindahkan, lalu suaranya mengecil lagi
Ada lagi buku-buku yang harus dikarang pertiwi atas kisah-kisah memilukan lantaran perangai anak-anaknya yang angkuh, mendongakan kepala setinggi mungkin, dan lupa menunduk kembali
Ada pertiwi yang memejamkan matanya, menahan bercak-bercak cerita menyengsarakan, berbulir laksana titik-titik yang membuatnya koma.
9 Oktober 2010
Aku dan mereka yang berkata “malu”
Orang
Insan
Dan lebih sempurna lagi jika disebut sebagai
Manusia
Sejenak aku mendengar mimpi ganja dan tembakau menjadi orang, insan atau juga manusia
Sejeda juga aku menangkap bisik curut di laci meja kerja seorang pejabat koruptor yang ingin menjadi orang, insan atau mungkin manusia
Namun ada aku dan orang, insan, atau manusia lainnya yang lemah gemulai menarikan lagu kesedihan melihat orang, insan atau manusia lain yang menyerupai curut got dekat rumah seorang maling sandal yang akhirnya di penjara dengan tragis selama hidupnya
Ada lagu yang berjudul “malu” yang kami nyanyikan bersama dengan nada yang tak berbentuk
Ada aku, orang, insan atau manusia lain yang merasa malu dengan identitas orang, insan atau manusia, namun berlaku laksana curut ngepet yang sampai sekarang tidak diketahui bersembunyi entah di mana.
9 Oktober 2010
Ibu dan kata-kata
Anakku
Jaga dirimu baik-baik
Baik-baik pada orang lain
Lain tanah lain pula adat
Adat mereka kau hormati
Hormati yang tua sayangi yang muda
Mudah-mudahan engkau selamat
Selamat jalan anakku.
9 Oktober 2010
rangkuman kehidupan
pasukan yang indah.
kerjasama yang indah.
merintihlah di mataku
dua ayah dalam telegram; kontras
ketika indonesia tersisa setengah
urang indonesia, nada dalam lahat
rumpang-rumpang menindih
di bawah jejak laut
aku menghampiri makam-makam ikan
yang kecil dan yang besar
aku tertantang untuk membuka dan membaca
trilogi ataupun tetralogi kehidupan yang berbuah memoles laut
tentang perjalanan iblis sampai ia tergugu ke dunia
hingga ia dikutuk sepanjang pekik fajar, ranum senja, dan pekat gulita
aku gelar tetralogi manusia
sebuah kisah yang tak pernah usai
meski dililit pasukan waktu
yang berbuih memoles laut
Denpasar, 30/12/2007
aku; dalam buku tafsirmu
aku; akan menjadi orag baik tak berpeluh
itu katamu
yang kau tulis dalam buku tafsirmu
bab tujuh
halaman sepuluh
tapi kamu salah
nyatanya aku menjadi penjahat berpeluh
aku; yang kau sebut sebagai manusia
itu yang kau tulis
dalam buku tafsirmu yang lain
tapi kamu keliru
nyatanya aku jadi binatang
serupa dikutuk bunda
aku seperti tikus kelaparan
berdasi tapi dicaci
bahkan moyang enggan mencatatku
dalam barisan silsilah leluhur
aku berpeluh dosa
bahkan cenayangmu tak bisa membacaku
buku tafsirmu gugu menulisku
aku; yang kau sebut pahlawan
tak berselera seperti itu
aku justru jadi fir’aun
Klungkung, 11/12/07
transformasi hati
sebenarnya mendung
saat tanganmu belum tertulis
dalam kitab malaikat tentangku
aku terbiasa bertingkah curang
pada rasa
saat riwayatku belum terbaca
olehku tentangmu
sebenarnya lain
saat wajahmu mulai terbentuk
dari keping-keping salju gurun
gemulai merekah
aku terbiasa mengaku suka
pada seerpih-serpih embun kemarau
yang mencipta senyummu
dan di akhir
meski menjelma takluk
adamu di sini
menyenangkanku
Bali 2009
langkah-langkah gemetar
gelap
aku memicingkan mata
ada bayanganmu
berkelebat cerah
seperti sabana merangkum mayang
masih gelap
saat kutiti langkah-langkah gemetar
menapaki indah bayang itu
dan cerah
saat langkah-langkah gemetar itu mati
saat kutahu
engkau hadir di gelap dan cerahku
Bali, 08/09
senjaku tak di petang
senjaku tak di petang
atau di remang gerbang malam
indah senjaku pergi
dalam senyum matahari
sepi senjaku
tak lagi sejuk
tak lagi indah
tak lagi manis
senjaku
segala
wafat di pekat nusa
Klungkung, 03/08.08
kucinta hilang
sunyi membawamu ke cerah nusa
tapi terik
bagiku
kucinta segalamu
ketika ada
ketika hilang
kucinta segalamu
meski kau terbawa hilang
karena kucinta hilang
Klungkung, 03/08/08
cerita
angin punya cerita
tentang sejuk hembusnya
hujan pernah cerita
tentang bening gerimisnya
pelangi juga cerita
tentang indah seribu warna
semua bercerita
tentang semua
dan aku ingin bercerita
tentang cintaku yang hilang
Klungkung, 03/03/08
pelangi mati
merahku mati
meski kumenjaga dalam nafasku
jinggaku pun pergi
meski kumenggenggam daam jemariku
kuningku pun tak sudi
mewarnaku, meski kumenjerit dalam layu
dengarkah kau dara?
laguku dalam kaku
dalam hijauku yang layu berlalu
dalam biruku yang mengharap wangimu
dan nilaku wafat
ketika terpaksa mendengarmu pergi dalam keramat
unguku merapat ke makam
ketika kau kirim kafan usang legam
aku mangkat
pelangiku mati
dan kau tak lagi melati
di hati
Klungkung, 280708
pusara pelangi
(untuk Thymsah)
tak ada yang bisa aku rangkai di sini
di setiap larik kata-kataku
meski banyak paragraf aksara
yang beratkan lisanku
lihatlah di setiap ruas kitab hatiku, pelangi!
semua kisah yang mungkin menjemukan
aku ingin melukismu
di setiap sisi langit
di penghujung usia angin
hingga semua bernama angin
aku membaca hireoglif di pusaramu
yang aku lukis sendiri dalam warnamu
kau adalah pelangi itu
Denpasar, 280108
makam hati
aku tergugu di sini
di makam hati
terpuruk rasa hati
di sini aku mati
di makam hati
dalam sulaman kafan bidadari
tapi aku masih sempat menguras hati
semua rasa di makam hati
makam hatiku membutuhkanmu melati
rangkul mayatku di sini
Bali, 240208
gerimis setia bermimpi
berkatalah pada:
hujan
jika engkau pernah menawan malaikat
kini malaikat itu datang
bila engkau mengharap angin mengerti perasaanmu
maka angin itu datang, kini
dan gerimis setia bermimpi
ingin membawau ke rasa itu
yang kusebut sebagai cinta
hujan...
aku ingin mencintaimu
walau sulit kumenyejukmu
hujan : kamu
aku : malaikat itu
Bali, 2008
susuk sukma
bersimbah mantra
susuk sukma
aku terendam di dalamnya
aku ingin engkau mati
dan mencariku di bejana hati
yang bersimbah mantra susuk sukma
Denpasar, 2008
sekapur sirih setengah matang
(refleksi 9 april 2009)
untuk para pria berdasi
yang lahir dari matahari
yang menyerubung tungku galaksi
untuk para pria berdasi
yang kemarin bernyanyi janji
di hadapan jelata serupa sufi
beri kami sekapur sirih
walau setengah matang
kami lelah melakon nestapa
cecerkan sekapur sirih itu
walau setengah matang
kami lelah disebut jelata.
Bali, 25/5/09
sebanyak umur
aku tak sempat menyanyi ini
perasaanku yang tegang melalui ini bersamamu
dulu
aku ditempa lagu ini
perasaanku yang sebanyak umur tentangmu
kini.
Bali, 07/02/09
dst. angka
satu
dua
tiga
empat
lima
enam
dst.
kita masih bisa berpikir.
Bali, 23/08/08
bencana
di setiap kokok fajar
setelah ayam-ayam itu tidak ngatuk lagi
setelah semalam mereka minum kopi
-aku bingung harus menulis apa-
atau
di setiap akhir adzan subuh pagi hari yang kataya ruku’, sujud, dan salam itu lebih baik daripada kita mengukur jauhnya mimpi
lebih adem dari amisnya kecing iblis di setiap sumur
yang manusia sebut telinga
-aku bingung lagi harus menulis apa-
dan
pagi aku tenggelam dalam koran
siang aku sibuk semedi di depan tv
malam aku linglung mencari gelombang yang bagus
99.9-88.7-101.3
-aku bingung, sebenarnya aku hanya mau bilang kalau di setiap akhir
=bencana
Bali 2008
mengaji kematian
kematian ini terlalu wajar
untuk kulafadz sebagai sakaratul maut
dan memang
kematian tak selamanya sama dengan sakaratul maut
setidaknya itu yang ada dalam wasiat para opa
seharusnya kumengaji kematian
seharusnya kumengeja sakaratul maut
seharusnya kumenguji para hati
dan di akhir cerita para oma
terlalu wajar kematian dan sakaratul maut tak terbaca
karena para hati tak mengajinya
kala ia sedang berpuisi
Klungkung, 04/02/08
debu-debu usang
rumahku hanya dipenuhi debu-debu usang
sudah keabu-abuan
mirip nisan tua para leluhur
hanya debu-debu itu
yang berani membasuh
rupa dusta para penjilat
hanya debu-debu itu
yang percaya dengan tuah rumah ini
hanya debu-debu itu
yang bisa meredam murka
para patih langit
para pelacur jalanan
dan para cecunguk lainnya.
23/08/08
terakhirku
inilah bait terakhirku
sebelum kulelap dalam mati
hanya ingin kamu tahu, gadis..
tangismu meruntuhkanku
meski malam menjelma tabib
tak bisa menahan sedihku
tak sanggup mengobatiku
tangismu melantakkan egoku
perihnya sakit.
Denpasar 2008
yang kusebut
aku ingin bibirmu tersenyum
yang kutahu itu senyum
aku ingin parasmu indah
yang kusebut itu cantik
aku ingin hatimu bahagia
seperti bunga menjamu embun.
Denpasar 2008
gadisku gadis
aku mencari gadisku di istana surga
kosong
hanya para bidadari yag mereka sebut jodohku
aku mencari gadisku di taman langit
kosong
hanya para peri yang membosankan
lalu kucari gadisku di luas bumi
engkau gadisku gadis.
Denpasar 2008
aku menulis
peri murka mengutuk
langit buncah membahanamalam tak lagi hitam, tapi terik
siangpun tanpa enggan menghitam semua
ketika aku menulis :
“aku”
kemudian mereka merekah
serupa embun kesiangan
laksana selaksa warna indah
tapi bukan pelangi, itu lebih anggun
karena setelah itu aku menulis :
“sayang”
tapi ayu mereka layu tergugu
sebab bukan mereka yang aku sayang
peri marah, langit memerah, malam mencekam, siang tak lagi menghidangkan matahari, ketika akhirnya aku menulis :
“kamu”.
Denpasar 2008
dua suasana
berapa banyak naskah operet yang dibacakan william shakespeare
tapi hanya sepatah petuah yang aku jerat dalam gelembung embun
tanpa prakata dan pustaka
petuah tentang dua suasana :
aku ingin membacamu dalam riwayat kisah hati
aku ingin menjamumu dengan jamuan kasturi
aku ingin menjamahmu dalam suasana hening berdendang bening
dan
aku tak ingin menemuimu di ujung botol tequilla dan busa sampagne
aku juga tak ingin melihatmu di setiap akhir kisah cacian.
DIBS, 10/02/2008
menghitung/angka/lagi
satu
aku harus menghitung
lagi
berapa lama aku
mati di sepi zohal
dua
jangan berhenti menghitung
lagi
berapa lama aku kaku
di asing zohrah
tiga
teruslah menghitung
lagi
berapa lama aku menunggu
pak pos yang membawa segalamu
empat
aku berhenti menghitung
engkau sudah terbang
ke ramai selene.
Denpasar, 05/04/08
thymsah
dewi vanadia yang lupa diramu dalam ilmu kimia
ratu aura yang hilang
kini
permaisuri beryl
yang tak kumiliki lagi
hilang dilumat
kitaran buta helios
dijarah kejam seres.
Denpasar, 09/03/08
Jangan Menangis
Putri…
Maksudku periku….
Jangan menangis di perihnya hati
Tapi tersenyumlah di manisnya pengakuan surga
Jangan menangis di sakitnya mati
Tapi berbahagialah di indahnya teras langit
Karena engkau pelangi
Engkau embun
Engkau gerimis
Engkau bunga
Engkau segala
Denpasar, 2008
Bukan Juga
Seribu kata teruji
Lidahku hanya bisa memuji
Bukan juga untuk segalamu di sini
Hanya senang jika kau jamu dengan kopi
Bukan anggur yang baru kau beli
Seribu tatap mendaki
Mataku hanya bisa sendiri
Bukan juga digilir sepi
Hanya senang jika kau ada di sini
Bukan pergi
Denpasar, 2008
Hanya Puisi
Aku hanya bisa berpuisi
Ketika pelangi mewarnaku
Hanya bisa berpuisi
Saat hujan membasuhku
Dan tetap berpuisi
Saat ingin berkata:
Tersenyumlan manis
Karena hanya puisi
Hartaku
Denpasar, 2008
Puisi Hati
Tanpa terpaksa kumemetik
Lagu bintang di jingga terik
Lalu menerjemahkannya
Dalam bait puisi hati
Tanpa terpaksa aku memelukmu
Walau hanya bayang semu
Di malam itu
Ketika ayumu menangis
Ketika sayumu meringis
Ketika lagumu menjerit
“aku sakit, hatiku perih, lebih dari luka.”
Denpasar, 2008
Pulau Mendung
Hujan telanjang membawa
Lukaku dari pulau mendung
Ia tahu,
Aku sedang terluka
Di pulau mendung
Ia tahu,
Dia.
:bingkai pelangi
Melepasku di ujung garis
Pandangku,
Di dalam riwayatnya.
Dan aku tetap terluka,
Di pulau mendung
Denpasar, 2009
Aksara Thymsah
Dia menulis indah
Di retina dekat pupilku
Melukis wajahnya sendiri
Yang menangkap matahari
Lalu membenamkannya ke mataku
Akasara Thymsah
Mengukir sketsa abstrak
Rumit…
Aku tak bisa menafsirkannya
Hanya bisa berkata:
Aku suka
Aksara itu
Membuatku suka
Walau kutahu:
Thymsah sang bidadari
yang membangkang
Klungkung, Januari 2009
Sajak Gersang
Fajar itu membawamu
Dari setiap akhir suara adzan subuh
Di setiap kuburan, atau apapun tempatnya
Tak lagi kubaca
Ketika aku memelukmu di bulat matahari
Tak lagi kuingat
Ketika kau kujadikan gurata asa dalam rasa
Dan akhirnya
Engkau kembali ke gersang malam
Bersama kereta Cinderella petang
Yang tak lagi seperti parasmu
Dan tergugu di sini
Seharusnya aku memaki fajar
Yang saat itu membawamu
Ke setiap sisi hatiku.
Bali, 29-01-08
Bisu
Aku bisu
Seribu abjad
Ketika kau bungkus kisah itu
Dan kau paketkan dalam diam angin
Sungguh
Aku bisu
Seribu abjad
Ketika kau buang kisah itu
Di pos-pos kota.
Denpasar, 09-03-08.
Di Teras Purnama
Aku putih
Engkau merah
Aku hitam
Engkau biru
Aku jingga
Engkau hijau
Aku nila
Engkau kuning
Kita memang tak pernah bersatu
Meski kita pernah nyenyak di teras purnama
Meski igaku berparas ayumu
Meski segalaku serupa sayumu.
Klungkung, 2008
Semoga
Ini bukan puisi cinta
Tapi lebih indah dari itu
Semoga…
Ini bukan bukan liturgy amor di jalanan surge
Saat dia ngamen di rumah bidadari
Tapi lebih merdu dari itu
Semoga…
Ini bukan rasa kosong
Seperti lorong tua seribu windu
Tapi lebih dalam dari itu
Bagiku…
Denpasar, 2008.
Motang Rua
Motang Rua mangkat
Berwasiat
Pada melas para cucu dan cicit
Wlingannya setelah wafat
Pada rakyat
: bertaubat
Sebelum sekarat
Dan setelah berjuta hari
Motang Rua dan para jenazah kembali
Mencari wasiat
Di kitab-kitab malaikat
Tapi menyesal
Sesal
Jengkel
Pada orang-orang pandai yang bebal.
Klungkung, 27-02-08
Sembubu
Selayaknya kita keluar
Dari sembubu ini
Yang bisa membunuh kita
Kapan saja
Lalu syairkan kepala mereka
Kepada para hati
Yang seharusnya dikutuk
Sekali lagi syairkan
Kita bukanlah pengkhianat leluhur
Kita bukanlah perusak leluhur
Kita bukanlah penghancur serupa wereng
Bukan juga malam yang melumat matahari.
Bali, 2007
Dalam Silsilah Kisah Malam
Dengan langit yang mencintai bumi
Kurangkai sejuta bunga
dalam bingkai kuntum prosa
untuk peri yang bertakhta dalam wangi
dengan embun dalam kering
di gurun gersang
kutitahkan sebuah wasiat terindah
untuk membasuh dahaga matahari
yang lelap dalam elok surga
maka berbahagialah wahai Hawaku
yang ku sebut dengan peri dan bidadari
karena namamu telah kutulis
dalam riwayat kisah hati
karena wajahmu tak kutulis
dalam silsilah kisah mati.
Bali, 2008
Lelap
Mimikmu
Membuatku menerawang langit
melayang, mendekat
ke lapisan ozon terakhir
lalu terbang menengok surge
mimikmu
membuatku lelap
lalu nyenyak
lalu bangun
dan
aku hanya bermimpi
Bali, 2009
Bisa Salah
Sebelum aku nyenyak di pangkuan bayangmu dengarkan lagu ini:
Jika aku tertidur malam ini
Ikhlaskan bayangmu kuimpikan
Relakan segalamu kuraih
Meski hanya mimpi
Jika besok aku bangun
Dan aku masih di pangkuanmu
Jangan melepasku sendiri,
Karena ternyata
Hatiku bisa salah.
Bali, 2009
Bosan
Aku bosan
Membeo pameo Romeo
dan Juliet
yang menurutku hanya sebentuk rodeo
aku juga bosan dengan
kisah peri tentang sayap
dan tongkat putihnya
aku hanya bosan
dengan genosida
yang mencincang hatiku
di setiap jerit terakhir
para kurir langit.
Klungkung, 11-02-08
berpeluh
masih berpeluh
selama lakumu menghalangi hujan
menjamah bulir-bulir
yang aku tulis
di perut, dahi, dan telapak kaki ibu
berpeluh
selama nada-nada sombongmu
menggertak angin
sehingga hausku kerontang membusanan
di tenggorokan
masih berpeluh
selama lagumu
masih berjudul angkuh
Yogya, 11 Mei 2011
0 komentar:
Posting Komentar