Sabtu, 29 Oktober 2011

Kumpulan Puisi Archduke Jr.

Setiap ide, uneg-uneg, kekecewaan, kepuasan, kebahagiaan, atau apa saja perasaan dan suasana hati, selalu menjadi sesuatu yang memuaskan jika dituangkan dalam bentuk tulisan.

Titik-titik yang koma

Ada tanda tanya melengkung membuncit seperti telunjuk yang mengait laksana mata kail
Ada juga tanda seru seperti tombak yang menghujam bumi yang mengecil laksana butir embun
Ada lagi kutip yang membungkus kata-kata yang tak layak untuk dicatat.

Seperti itu pertiwi
Ada tanda tanya yang membuatnya mengacungkan telunjuk laksana penghuni rumah siput menginterupsi tanpa makna dan tanpa niat
Ada cemas dan rasa penasaran tentang luka dari laku orang-orang yang menyebut pertiwi sebagai bunda

Ada juga saat-saat dia harus mengeraskan suara, membuka semua lorong pita suaranya, menghardik anak-anaknya yang durhaka, namun tak diindahkan, lalu suaranya mengecil lagi

Ada lagi buku-buku yang harus dikarang pertiwi atas kisah-kisah memilukan lantaran perangai anak-anaknya yang angkuh, mendongakan kepala setinggi mungkin, dan lupa menunduk kembali

Ada pertiwi yang memejamkan matanya, menahan bercak-bercak cerita menyengsarakan, berbulir laksana titik-titik yang membuatnya koma.


9 Oktober 2010


Aku dan mereka yang berkata “malu”

Orang
Insan
Dan lebih sempurna lagi jika disebut sebagai
Manusia

Sejenak aku mendengar mimpi ganja dan tembakau  menjadi orang, insan atau juga manusia
Sejeda juga aku menangkap bisik curut di laci meja kerja seorang pejabat koruptor yang ingin menjadi orang, insan atau mungkin manusia

Namun ada aku dan orang, insan, atau manusia lainnya yang lemah gemulai menarikan lagu kesedihan melihat orang, insan atau manusia lain yang menyerupai curut got dekat rumah seorang maling sandal yang akhirnya di penjara dengan tragis selama hidupnya

Ada lagu yang berjudul “malu” yang kami nyanyikan bersama dengan nada yang tak berbentuk
Ada aku, orang, insan atau manusia lain yang merasa malu dengan identitas orang, insan atau manusia, namun berlaku laksana curut ngepet yang sampai sekarang tidak diketahui bersembunyi entah di mana.


9 Oktober 2010



Ibu dan kata-kata

Anakku
Jaga dirimu baik-baik
Baik-baik pada orang lain
Lain tanah lain pula adat
Adat mereka kau hormati
Hormati yang tua sayangi yang muda
Mudah-mudahan engkau selamat
Selamat jalan anakku.

9 Oktober 2010


rangkuman kehidupan 

saat ini kita seperti sebuah jembatan 
di tengah ketidakpastian seperti garpu yang hendak menerkam 
lihat di bawah kita yang menangis, menengadah mengulur tangan 
meminta dua koma lima persen isi dompet kita, dan kita sering mengacuhkan mulut mereka yang sebenarnya lelah memaki perut, yang juga sebenarnya lelah memaki mulut yang tidak memberinya sebulir nasi seharian atau lebih. 

sementara di atas kita ada yang congkak terbahak 
bernyanyi di pintu mobil mereka seperti orang gila 
atau menganggukkan kaki, sementara tangan terongkang-ongkang menghitung rupiah dengan sempoa. 
tak peduli lagi yang di bawah jembatan 
seperti tak ada kehidupan di bawah jembatan 
atau mungkin hanya binatang yang ada di bawah jembatan. 

ironi memang. 
memang ironi. 

cobalah bertukar takdir 
yang di atas sesekali berziarah ke bawah, atau mungkin harus terkubur sehari saja di bawah jembatan sana. 
sementara sehari biarkan yang di bawah melongok ke atas, atau mungkin bernyanyi sehari saja di atas jembatan. 

Teras, 22 Desember 2009. 


hidupku atas bawah 

sehari lalu ku mengapung di atas awan sana 
dua hari lalu ku tenggelam di bawah dipan bumi; dalam sekali… 

dan hari ini ku sedikit oleng 
dihempas asap knalpot penuh debu, dari mobil-mobil plat merah. 
atau diterpa dengus nada nafas para penyamun dari rumah siput. 

itu sedikit hari tentangku kemarin. 
dan sebenarnya setiap hari aku dan jelata teroleng linglung. 
oleh hela lagu para pencopet kelas atas, hasil perkawinan silang pribumi jalang dan mafia kakap sisilia. 
anehnya ku tetap bisa bertahan bersama jelata yang kemarin, hari ini, dan mungkin besok akan tetap menangis bersama, meratapi diri serupa ayam bertelur di ujung tanduk penghuni siput. 

aku dan jelata benar-benar oleng. 

Teras Depan, 22 Desember 2009. 


sejenak mati suri saja 

ada kataku menawarkan kematian 
namun sejenak saja 
agar engkau mengerti terjalnya kerikil makam 
atau gelapnya kafan usang tak berbusa wangi 
atau jerat tali yang merapalmu yang berjumlah tiga; kepala, pinggang, dan kaki. 
dan tangis terakhir pelayat di akhir temumu dengan hawa panas dunia ini. 

sejenak saja mati suri. 
temani semenit saja mayat-mayat di bawah sana. 
tanyakan sebab lidah mereka terpotong garpu; mungkin pendusta. 
sebab tangan dan perut mereka menjerit terbahak, layaknya si gila di bawah akasia samping kuburmu sendiri; pencuri. 

sejenak saja mati suri. 
mati suri saja sejenak. 

Di bawah langit, 22 Desember 2009. 


pencuri di garis lunak 

biasanya kubertemu pencuri berotak janda, ditinggal pergi hatinya yang berbuih jernih.
biasanya juga ketertegun oleh pencuri berdarah panas. 
bergerigi memuncak bersamaan dengan dentuman nafsu untuk berkuasa, untuk duduk santai di kursi-kursi berjejer di rumah-rumah kaca sana. 

namun tak lagi berlaku 
pencuri tak lagi bermain kasar, mengukur milik manusia dengan garis keras 
semuanya berubah lunak, mencuri dengan sedikit jamahan tangan halus layaknya makhluk halus teman mereka. 
pencuri itu bergeser ke garis lunak, dalam mengheningkan perut kita dari jatah makan tiga kali sehari; seperti biasanya. 
pencuri tak lagi bersuara keras, namun berubah lunak sedikit bersembunyi. 

Perut Bumi, 23/12/09 



bumi sedikit saja 

sedikit saja jika hendak kecewa 
sedikit saja lihat bumi ini, 
tentu gerombolan pahlawan itu mesti kecewa melihatnya. 

tak perlu terlalu jauh kakimu berputar di tubuh pertiwi 
atau mungkin tangan dan matamu bersekutu mengerayangi bola bulat tempat peta terukir, dengan skala yang membesar sedikit saja. 

coba saja lihat ke luar jendela gubuk, rumah, atau sarang reot milik kita 
sedikit saja 
karena yang terlihat adalah bumi yang tak pernah terlukis dalam kepala dingin gerombolan pahlawan yang terhormat itu. 

coba saja cari gelombang radio semaumu, namun sedikit saja 
karena yang akan kau dengar adalah bumi yang sebenarnya juga merintih dan memaki kita; siapa yang tahu? 

namun benar kita tak perlu bersedih. 
ulurkan tanganmu dan cobalah kau pangku bumi 
tak perlu sungkan. 
tak perlu sedikit. 
coba saja kau buat bumi tertawa sebanyak mungkin. 

Dengan Harapan, 23/12/09 


setelah itu mati saja 

aku pernah menanggung malu 
dicaci semut yang masih berbaris mengolah nafkah. 

lihat pembesar yang merebut sebutir jagung di kerumunan ayam-ayam itu, sementara mereka menanggalkan malu di atas tempat tidur mereka. 
yang mereka tahu hanya perut yang semakin buncit di sapu sedikit saja matahari yang muak melihatnya. 
tak ada kata gotong royong dalam pencarian mereka, seperti dongeng sebelum tidur yang kakek ceritakan dulu. 

aku juga pernah merintih kesakitan, setelah cicak yang enggan melepas dinding mencincangku dengan sekuntum kata-kata. 

lihat lakumu yang menjijikan itu 
tak pernah kah orang yang kau tuakan mengabarkanmu tentang kosakata sabar? 
hingga engkau rajin berputus asa? 
lalu kau mencaci dirimu sendiri yang tak beruntung hari ini. 

sejenak saja kau berpikir, sejeda saja kau menunggu; tak mampu kah? 
namun jika tetap tak mampu; pergi saja dari sini, setelah itu mati saja. 

Tempat Tidur, 23/12/09. 


logika bernasib wajar 

jika engkau mendapati bakul berisi emas memenuhi halaman rumahmu 
tak pantas engkau lahap dengan lidah menjulur penuh meraihnya, sebab itu bukan untukmu. 
tanyakan langit yang saat itu menengokmu, atau pelangi yang menghiasi kemarau saat itu. 

jika engkau mendapati sebuah taman tak bertuan dipenuhi berkarung-karung nasi 
tak pantas engkau tergesa memeluknya, sebab itu juga bukan milikmu. 
tanyakan bunga yang tersenyum sinis jika engkau melumat buliran-buliran nasi tersebut. 

maka coba saja berpikir wajar, 
semenit kemudian coba bernasib wajar. 
jangan mengail yang bukan milikmu, karena semua akan tertawa tersedu-sedu melihatmu merampas yang bukan milikmu. 
dan saat itu engkau sendiri menangis terbahak-bahak menanggung nasib yang tak wajar karena ulahmu sendiri. 

Depan Gelas Kopi, 23/12/09. 


kampoeng di otak leluhur 

gunung-gunung akan berbaris rapi, menuju lautan tempat saudara-saudaramu memakan kepiting setiap senja.
pasukan yang indah. 
langit akan sejuk tertawa dengan saudara-saudaramu memanen padi tiga bulan sekali.
kerjasama yang indah. 
bumi juga akan setia memikul langkahmu, serta saudara-saudaramu yang sibuk mencari hidup. 

leluhur bermimpi seperti itu; dulu. 


namun gunung-gunung tak lagi berbaris bersama lautan. 
tak ada lagi saudara-saudara yang menangkap kepiting, ikan, paus, dan lain sebagainya. 
langit tak lagi bisa tersenyum, apalagi terpingkal-pingkal. 
tak ada lagi saudara-saudara uang memanen padi. 
dan bumi tak pernah lagi setia menahan langkah-langkah conkak kita. 
atau saudara-saudara kita yang tenang memahat hidup. 

dan leluhur terpaksa kecewa menontonnya. 

Kamar Kost, 23/12/09. 


merintihlah di mataku 

sebenarnya sama saja 
retinaku yang tetap menatap 
meski alis tak sempat berbaris 
seperti parade pasukan semut menyambut kemerdekaannya 
tetap menatap yang setiap saat mengalir membentuk leksikon cerita 

namun untuk mereka yang ingin merintih 
menahan sakit goresan liukan air 
yang tak sempat lagi menghapus dahaga 
mereka yang sakit menahan perih tusukan bulir-bulir beras yang tak lagi mengenyangkan 

merintihlah di mataku 
dan retinaku akan membicarakannya 
untuk para pembesar di rumah siput 
agar air tak lagi menggores 
dan beras tak lagi menusuk 


DIBS, 14/12/09 


surat seorang kakek 

untuk semua yang masih bisa membaca aksara dan alifbata 
untuk semua yang masih berjenis kelamin 
untuk semua yang masih bisa menggelembungkan perutnya seperti balon ulang tahunku dulu 
untuk mereka yang menciptakan kata retorika 
untuk mereka yang berbicara struktur, prinsip, wacana, dan target 
dan untuk mereka yang masih bisa berbicara sepanjang hari hingga mulutnya berembun busa. 

sudahkah aksaramu mengikat dunia? 
atau retorikamu tak terkekang wacana? 
kemudian berubah layaknya palapa di tangan gajah mada? 
bisakah busa mulutmu berkurang seliter demi seliter? 
hingga struktur, prinsip, atau targetmu tak lagi disebut fana? 

sudahkah/ 


DIBS, 14/12/09 



dua ayah dalam telegram; kontras 

anakku.. 
jika siang nanti ayah tak tampak di batang pintu sana 
atau tak menyapa ibumu di dekat panasnya panci dalam dapur 
jangan mencari ayah di jalan menuju gedung-gedung tinggi, atau rumah-rumah yang dihiasi lampu berkelas buatan abad millennium 
namun carilah ayah dekat semerbak sampah sana 
atau dekat jembatan usang yang hampir roboh 
atau dekat kuburan orang-orang yang terpaksa melepaskan nyawa lantaran tak kuasa menikahi perut dengan sedikit nasi sebagai maskawin 
atau mungkin di tengah kumpulan orang-orang kecil yang kebingungan melihat tingkah aneh majikannya 
karena ayah mati sebagai orang kecil yang tak berdaya melawan manusia-manusia pintar tapi menganut binatangisme sana 

anakku.. 
banggalah pada ayah, lihatlah bagaimana ayah berkibar di atas matahari, tengoklah bagaimana ayah berbusa menghentakkan dunia dengan sedikit ide dan kreasi, walaupun ternyata itu merugikan orang lain. 
namun ayah tak peduli itu, karena ayah adalah hebat, tak pantas untuk menjenguk keadaan yang kecil di sudut sana, karena mereka tak menarik bagi ayah. 
lihatlah bagaimana ayah akan pulang dengan mahkota, walaupun yang kecil merintih kesakitan menyaksikannya, meski darah mereka tersimbah membentuk bandang yang mengamuk hari-hari ini. 
lihatlah bagaimana ayah membunuh manusia dengan sedikit kemunafikan, dengan uang yang ayah dapat dari bawah meja, atau dedaunan yang jatuh bersama amplop-amplop pak pos pagi ini, lantaran kehebatan ayah. 
maka banggalah menjadi anak ayah. 

dua ayah dalam telegram; kontras. 

Kamar Tidur, 27/12/09 


siang yang bolong 

muda yang masih lelap 
semenjak mimpi hadir di dunia malam 
bersama muda yang kini 
masih terlelap 

muda yang pagi ini telanjang 
kesiangan setelah pagi berpisah embun 
muda yang terakhir terlena mimpi 
masih lelap telanjang 

muda yang masih lelap 
yang pasti tak kuasa 
membalas terik siang yang sudah lama bolong 
di ujung galah matahari yang berpeluh 

muda yang masih lelap 
banging dan seberangi siang yang sudah bolong itu 
sebelum senja pun ikut bolong 
bersama mimpi yang pasti hadir lagi. 

DIBS, 15/12/09 



ketika indonesia tersisa setengah 

tak ada lagi teriakan lantang malam-malam ini 
padahal jantan mati setengah berkokok serak 
menyemangati nyenyak segera berdiri 
menertawakan yang masih setengah hidup 

indonesia tersisa setengah 
ketika teriakan horas mati penuh 
hilang bersama ujung nafas para moyang 

yang tersisa hanya setengah 
dan lagu indonesia raya 
sebatas judul pengantar kuasa 

indonesia hilang setengah 
pertiwi menangis penuh 
tak melahirkan sanak pelipur lara 
yang ada hanya manusia setengah 
dalam durja bersorak penuh 

ketika indonesia tersisa setengah 
ketika indonesia hilang setengah 
semangatnya menjauh penuh 
manusianya hidup setengah 
sementara pertiwi tersedu 
kehilangan indonesia setengah. 

DIBS, 20-01-10 


urang indonesia, nada dalam lahat 

lagu liang ngakak bersedih 
terngiang petaka kemarin hari. 
nada lahat sedan terbahak 
memahat mara hari ini. 
sementara besok membawa marah 
mencari merah urang indonesia 
dan darah merekah singkat dimusihi. 

puisi petaka, merah mara, dan sajak marah 
mengucap padu, satu paduan suara 
urang indonesia sarapan kemarin, hari ini, dan besok 
sebab ulah, ucap urang indonesia. 


DIBS, 20-01-10 


bukan malam; tertawa menahan tangis 

kumenyebut aku bukan malam 
malam sendiri yang sembab terkulai 
menggambarkan di mulutnya 
sengsara kasta atas 
atas yang lain di pinggir jalan, terali jembatan, atau istana sampah 

kutertawa ketika malam 
menohok telingaku dengan drama sedih akhir pecan 
setiap bulan, selalu, padahal tangis 

ada jarum yang mengarah pada detak 
detak-detak biasa tentang siang tadi 
ada anak yang menyentil mulut ayahnya; durhaka 
ada tikus sendiri di lorong menuju singgasana; durja 
dan aku sendiri masih tertawa menahan tangis. 

DIBS, 22-01-10 


cucu menyebutnya; tikus menggeleng 

sebelah kakiku linglung memegang bumi 
mataku masih sebelah menatapnya gersang 
matahari masih jauh dari tempatnya terbiasa tergelincir 
saat aku masih muda 
orok, masih cucu. 

sebelah mataku, sebelah kakiku 
dan matahari malu melihat para ayah 
busa mulutnya menulis jelata dan sengsara 
kaki dan tangannya bersorak dalam sekutu 
tentang dusta tak bernomor 

aku menyebutnya tikus 
tikus malu-malu menggeleng pelan 
murka menentang 
sebab para ayah bersalah sendiri 
bukan tikus yang menggeleng pelan. 

DIBS, 22-01-10 


jelata rungu patih tunanetra 

jelata lepas dari jumawa 
menyimak ilalang bergoyang liar 
menyembur, menjerit, menghitung petaka di ujung-ujung berat 
helaan nafas kurcaci ( jelata ) negeri 
diiringi anggukan kecil dedaunan bencana 


dan patih mendapat juluk tunanetra 
dari pegunungan-pegunungan tinggi tempat mereka bersemedi dingin 
tentang arti kata dusta 
menurut bahasa dan istilah 
tentang mendapatkan dedaunan kering 
bergambar pahlawan 
tanpa dibasahi keringat 
layak jelata 
sementara jelata rungu mendongak 
membahas patih tunanetra 
perlahan meracik nestapa. 

DIBS, 23-01-10 


rumpang-rumpang menindih 

tingkah-tingkah ini selayak rumpang berbelati 
menari mencari celah untuk menusuk 
rumpang-rumpang yang menyelisih dengan harap 
rumpang-rumpang yang berbusana bencana 
memaksa gerimis berceceran dari mata dan retina 

dari jejak kita rumpang-rumpang berasal 
dan liuk telapak yang membual 
anggukan kecil kepala yang merapal 
serta kerikil abjad dari lidah yang menghafal 
hingga pada rumpang-rumpang nestapa bersimpul 

rumpang-rumpang menindih 
kita tergerus 
perlahan merintih. 


DIBS, 25-01-10 


pada yang bawah kita berbincang 

yang bermukim di atas 
berbincang tentang yang bawah 
tentang luka yang menangis 
tentang jelata yang teriris 
dan tentang tawa yang sering tak bias 

namun tak ada gerak yang menghapus 
dari yang atas 
pada luka yang bawah 
pada jelata yang marah 
para tawa yang kalah. 

DIBS, 25-01-10


di bawah jejak laut

aku menghampiri makam-makam ikan
yang kecil dan yang besar
aku tertantang untuk membuka dan membaca
trilogi ataupun tetralogi kehidupan yang berbuah memoles laut

tentang perjalanan iblis sampai ia tergugu ke dunia
hingga ia dikutuk sepanjang pekik fajar, ranum senja, dan pekat gulita

aku gelar tetralogi manusia
sebuah kisah yang tak pernah usai
meski dililit pasukan waktu
yang berbuih memoles laut

Denpasar, 30/12/2007


aku; dalam buku tafsirmu

aku; akan menjadi orag baik tak berpeluh
itu katamu
yang kau tulis dalam buku tafsirmu
bab tujuh
halaman sepuluh
tapi kamu salah
nyatanya aku menjadi penjahat berpeluh

aku; yang kau sebut sebagai manusia
itu yang kau tulis
dalam buku tafsirmu yang lain
tapi kamu keliru
nyatanya aku jadi binatang
serupa dikutuk bunda

aku seperti tikus kelaparan
berdasi tapi dicaci
bahkan moyang enggan mencatatku
dalam barisan silsilah leluhur

aku berpeluh dosa
bahkan cenayangmu tak bisa membacaku
buku tafsirmu gugu menulisku

aku; yang kau sebut pahlawan
tak berselera seperti itu
aku justru jadi fir’aun

Klungkung, 11/12/07
transformasi hati

sebenarnya mendung
saat tanganmu belum tertulis
dalam kitab malaikat tentangku

aku terbiasa bertingkah curang
pada rasa
saat riwayatku belum terbaca
olehku tentangmu

sebenarnya lain
saat wajahmu mulai terbentuk
dari keping-keping salju gurun
gemulai merekah

aku terbiasa mengaku suka
pada seerpih-serpih embun kemarau
yang mencipta senyummu

dan di akhir
meski menjelma takluk
adamu di sini
menyenangkanku

Bali 2009


langkah-langkah gemetar

gelap
aku memicingkan mata
ada bayanganmu
berkelebat cerah
seperti sabana merangkum mayang

masih gelap
saat kutiti langkah-langkah gemetar
menapaki indah bayang itu

dan cerah
saat langkah-langkah gemetar itu mati
saat kutahu
engkau hadir di gelap dan cerahku

Bali, 08/09

senjaku tak di petang

senjaku tak di petang
atau di remang gerbang malam
indah senjaku pergi
dalam senyum matahari

sepi senjaku
tak lagi sejuk
tak lagi indah
tak lagi manis

senjaku
segala
wafat di pekat nusa

Klungkung, 03/08.08

kucinta hilang

sunyi membawamu ke cerah nusa
tapi terik
bagiku

kucinta segalamu
ketika ada
ketika hilang

kucinta segalamu
meski kau terbawa hilang
karena kucinta hilang

Klungkung, 03/08/08


cerita

angin punya cerita
tentang sejuk hembusnya
hujan pernah cerita
tentang bening gerimisnya
pelangi juga cerita
tentang indah seribu warna
semua bercerita
tentang semua

dan aku ingin bercerita
tentang cintaku yang hilang

Klungkung, 03/03/08

pelangi mati

merahku mati
meski kumenjaga dalam nafasku
jinggaku pun pergi
meski kumenggenggam daam jemariku
kuningku pun tak sudi
mewarnaku, meski kumenjerit dalam layu

dengarkah kau dara?
laguku dalam kaku
dalam hijauku yang layu berlalu
dalam biruku yang mengharap wangimu

dan nilaku wafat
ketika terpaksa mendengarmu pergi dalam keramat
unguku merapat ke makam
ketika kau kirim kafan usang legam

aku mangkat
pelangiku mati
dan kau tak lagi melati
di hati

Klungkung, 280708


pusara pelangi
(untuk Thymsah)

tak ada yang bisa aku rangkai di sini
di setiap larik kata-kataku
meski banyak paragraf aksara
yang beratkan lisanku

lihatlah di setiap ruas kitab hatiku, pelangi!
semua kisah yang mungkin menjemukan

aku ingin melukismu
di setiap sisi langit
di penghujung usia angin
hingga semua bernama angin

aku membaca hireoglif di pusaramu
yang aku lukis sendiri dalam warnamu
kau adalah pelangi itu

Denpasar, 280108


makam hati

aku tergugu di sini
di makam hati
terpuruk rasa hati

di sini aku mati
di makam hati
dalam sulaman kafan bidadari

tapi aku masih sempat menguras hati
semua rasa di makam hati

makam hatiku membutuhkanmu melati
rangkul mayatku di sini

Bali, 240208


gerimis setia bermimpi

berkatalah pada:
            hujan
jika engkau pernah menawan malaikat
kini malaikat itu datang
bila engkau mengharap angin mengerti perasaanmu
maka angin itu datang, kini

dan gerimis setia bermimpi
ingin membawau ke rasa itu
yang kusebut sebagai cinta

hujan...
aku ingin mencintaimu
walau sulit kumenyejukmu

hujan : kamu
aku : malaikat itu

Bali, 2008

susuk sukma

bersimbah mantra
susuk sukma
aku terendam di dalamnya

aku ingin engkau mati
dan mencariku di bejana hati
yang bersimbah mantra susuk sukma

Denpasar, 2008


sekapur sirih setengah matang
(refleksi 9 april 2009)

untuk para pria berdasi
yang lahir dari matahari
yang menyerubung tungku galaksi

untuk para pria berdasi
yang kemarin bernyanyi janji
di hadapan jelata serupa sufi

beri kami sekapur sirih
walau setengah matang
kami lelah melakon nestapa

cecerkan sekapur sirih itu
walau setengah matang
kami lelah disebut jelata.

Bali, 25/5/09


sebanyak umur

aku tak sempat menyanyi ini
perasaanku yang tegang melalui ini bersamamu
            dulu

aku ditempa lagu ini
perasaanku yang sebanyak umur tentangmu
            kini.

Bali, 07/02/09


dst. angka

satu
            dua
tiga
            empat
lima
            enam
dst.

kita masih bisa berpikir.

Bali, 23/08/08


bencana

di setiap kokok fajar
setelah ayam-ayam itu tidak ngatuk lagi
setelah semalam mereka minum kopi
-aku bingung harus menulis apa-

atau
di setiap akhir adzan subuh pagi hari yang kataya ruku’, sujud, dan salam itu lebih baik daripada kita mengukur jauhnya mimpi
lebih adem dari amisnya kecing iblis di setiap sumur
yang manusia sebut telinga
-aku bingung lagi harus menulis apa-

dan
pagi aku tenggelam dalam koran
siang aku sibuk semedi di depan tv
malam aku linglung mencari gelombang yang bagus
99.9-88.7-101.3

-aku bingung, sebenarnya aku hanya mau bilang kalau di setiap akhir
            =bencana

Bali 2008


mengaji kematian

kematian ini terlalu wajar
untuk kulafadz sebagai sakaratul maut
            dan memang
kematian tak selamanya sama dengan sakaratul maut
setidaknya itu yang ada dalam wasiat para opa

seharusnya kumengaji kematian
seharusnya kumengeja sakaratul maut
seharusnya kumenguji para hati

dan di akhir cerita para oma
terlalu wajar kematian dan sakaratul maut tak terbaca
karena para hati tak mengajinya
kala ia sedang berpuisi

Klungkung, 04/02/08


debu-debu usang

rumahku hanya dipenuhi debu-debu usang
sudah keabu-abuan
mirip nisan tua para leluhur

hanya debu-debu itu
yang berani membasuh
rupa dusta para penjilat

hanya debu-debu itu
yang percaya dengan tuah rumah ini

hanya debu-debu itu
yang bisa meredam murka
para patih langit
para pelacur jalanan
dan para cecunguk lainnya.

23/08/08


terakhirku

inilah bait terakhirku
sebelum kulelap dalam mati
hanya ingin kamu tahu, gadis..
tangismu meruntuhkanku
meski malam menjelma tabib
tak bisa menahan sedihku
tak sanggup mengobatiku
tangismu melantakkan egoku
perihnya sakit.

Denpasar 2008


yang kusebut

aku ingin bibirmu tersenyum
yang kutahu itu senyum

aku ingin parasmu indah
yang kusebut itu cantik

aku ingin hatimu bahagia
seperti bunga menjamu embun.

Denpasar 2008


gadisku gadis

aku mencari gadisku di istana surga
            kosong
hanya para bidadari yag mereka sebut jodohku

aku mencari gadisku di taman langit
            kosong
hanya para peri yang membosankan

lalu kucari gadisku di luas bumi
engkau gadisku gadis.

Denpasar 2008


aku menulis

peri murka mengutuk
langit buncah membahanamalam tak lagi hitam, tapi terik
siangpun tanpa enggan menghitam semua
ketika aku menulis :
“aku”

kemudian mereka merekah
serupa embun kesiangan
laksana selaksa warna indah
tapi bukan pelangi, itu lebih anggun
karena setelah itu aku menulis :
            “sayang”

tapi ayu mereka layu tergugu
sebab bukan mereka yang aku sayang
peri marah, langit memerah, malam mencekam, siang tak lagi menghidangkan matahari, ketika akhirnya aku menulis :
            “kamu”.

Denpasar 2008


dua suasana

berapa banyak naskah operet yang dibacakan william shakespeare
tapi hanya sepatah petuah yang aku jerat dalam gelembung embun
tanpa prakata dan pustaka

petuah tentang dua suasana :
aku ingin membacamu dalam riwayat kisah hati
aku ingin menjamumu dengan jamuan kasturi
aku ingin menjamahmu dalam suasana hening berdendang bening

dan
aku tak ingin menemuimu di ujung botol tequilla dan busa sampagne
aku juga tak ingin melihatmu di setiap akhir kisah cacian.


DIBS, 10/02/2008


menghitung/angka/lagi

satu
            aku harus menghitung
            lagi
            berapa lama aku
            mati di sepi zohal

dua
            jangan berhenti menghitung
            lagi
            berapa lama aku kaku
            di asing zohrah
tiga
            teruslah menghitung
            lagi
            berapa lama aku menunggu
            pak pos yang membawa segalamu
empat
            aku berhenti menghitung
            engkau sudah terbang
            ke ramai selene.

Denpasar, 05/04/08


thymsah

dewi vanadia yang lupa diramu dalam ilmu kimia

ratu aura yang hilang
kini

permaisuri beryl
yang tak kumiliki lagi

hilang dilumat
kitaran buta helios
dijarah kejam seres.

Denpasar, 09/03/08


Jangan Menangis                             
                                   
Putri…
Maksudku periku….

Jangan menangis di perihnya hati
Tapi tersenyumlah di manisnya pengakuan surga

Jangan menangis di sakitnya mati
Tapi berbahagialah di indahnya teras langit

Karena engkau pelangi
Engkau embun
Engkau gerimis
Engkau bunga
Engkau segala

Denpasar, 2008


Bukan Juga

Seribu kata teruji
Lidahku hanya bisa memuji
Bukan juga untuk segalamu di sini
Hanya senang jika kau jamu dengan kopi
Bukan anggur yang baru kau beli

Seribu tatap mendaki
Mataku hanya bisa sendiri
Bukan juga digilir sepi
Hanya senang jika kau ada di sini
Bukan pergi

Denpasar, 2008


Hanya Puisi

Aku hanya bisa berpuisi
Ketika pelangi mewarnaku
Hanya bisa berpuisi
Saat hujan membasuhku
Dan tetap berpuisi
Saat ingin berkata:
Tersenyumlan manis
Karena hanya puisi
Hartaku

Denpasar, 2008


Puisi Hati
Tanpa terpaksa kumemetik
Lagu bintang di jingga terik
Lalu menerjemahkannya
Dalam bait puisi hati

Tanpa terpaksa aku memelukmu
Walau hanya bayang semu
Di malam itu

Ketika ayumu menangis
Ketika sayumu meringis
Ketika lagumu menjerit

“aku sakit, hatiku perih, lebih dari luka.”

Denpasar, 2008


Pulau Mendung

Hujan telanjang membawa
Lukaku dari pulau mendung
Ia tahu,
Aku sedang terluka
Di pulau mendung
Ia tahu,

Dia.
:bingkai pelangi
 Melepasku di ujung garis
Pandangku,
Di dalam riwayatnya.

Dan aku tetap terluka,
Di pulau mendung

Denpasar, 2009


Aksara Thymsah

Dia menulis indah
Di retina dekat pupilku
Melukis wajahnya sendiri
Yang menangkap matahari
Lalu membenamkannya ke mataku

Akasara Thymsah
Mengukir sketsa abstrak
Rumit…
Aku tak bisa menafsirkannya
Hanya bisa berkata:
Aku suka

Aksara itu
Membuatku suka
Walau kutahu:
Thymsah sang bidadari
yang membangkang

Klungkung, Januari 2009


Sajak Gersang

Fajar itu membawamu
Dari setiap akhir suara adzan subuh
Di setiap kuburan, atau apapun tempatnya

Tak lagi kubaca
Ketika aku memelukmu di bulat matahari
Tak lagi kuingat
Ketika kau kujadikan gurata asa dalam rasa

Dan akhirnya
Engkau kembali ke gersang malam
Bersama kereta Cinderella petang
Yang tak lagi seperti parasmu

Dan tergugu di sini
Seharusnya aku memaki fajar
Yang saat itu membawamu
Ke setiap sisi hatiku.

Bali, 29-01-08


Bisu

Aku bisu
            Seribu abjad

Ketika kau bungkus kisah itu
Dan kau paketkan dalam diam angin

Sungguh
Aku bisu
            Seribu abjad

Ketika kau buang kisah itu
Di pos-pos kota.

Denpasar, 09-03-08.


Di Teras Purnama

Aku putih
Engkau merah
Aku hitam
Engkau biru
Aku jingga
Engkau hijau
Aku nila
Engkau kuning

Kita memang tak pernah bersatu
Meski kita pernah nyenyak di teras purnama
Meski igaku berparas ayumu
Meski segalaku serupa sayumu.

Klungkung, 2008


Semoga

Ini bukan puisi cinta
Tapi lebih indah dari itu
Semoga…

Ini bukan bukan liturgy amor di jalanan surge
Saat dia ngamen di rumah bidadari
Tapi lebih merdu dari itu
Semoga…

Ini bukan rasa kosong
Seperti lorong tua seribu windu
Tapi lebih dalam dari itu
Bagiku…

Denpasar, 2008.

Motang Rua

Motang Rua mangkat
Berwasiat
Pada melas para cucu dan cicit

Wlingannya setelah wafat
Pada rakyat
            : bertaubat
             Sebelum sekarat

Dan setelah berjuta hari
Motang Rua dan para jenazah kembali
Mencari wasiat
Di kitab-kitab malaikat

Tapi menyesal
Sesal
Jengkel
Pada orang-orang pandai yang bebal.

Klungkung, 27-02-08


Sembubu

Selayaknya kita keluar
Dari sembubu ini
Yang bisa membunuh kita
Kapan saja


Lalu syairkan kepala mereka
Kepada para hati
Yang seharusnya dikutuk

Sekali lagi syairkan
Kita bukanlah pengkhianat leluhur
Kita bukanlah perusak leluhur
Kita bukanlah penghancur serupa wereng
Bukan juga malam yang melumat matahari.

Bali, 2007


Dalam Silsilah Kisah Malam

Dengan langit yang mencintai bumi
Kurangkai sejuta bunga
dalam bingkai kuntum prosa
untuk peri yang bertakhta dalam wangi

dengan embun dalam kering
di gurun gersang
kutitahkan sebuah wasiat terindah
untuk membasuh dahaga matahari
 yang lelap dalam elok surga

maka berbahagialah wahai Hawaku
yang ku sebut dengan peri dan bidadari

karena namamu telah kutulis
dalam riwayat kisah hati
karena wajahmu tak kutulis
dalam silsilah kisah mati.

Bali, 2008


Lelap

Mimikmu
Membuatku menerawang langit
melayang, mendekat
ke lapisan ozon terakhir

lalu terbang menengok surge

mimikmu
membuatku lelap
lalu nyenyak
lalu bangun
            dan
aku hanya bermimpi 

Bali, 2009


Bisa Salah

Sebelum aku nyenyak di pangkuan bayangmu dengarkan lagu ini:
Jika aku tertidur malam ini
Ikhlaskan bayangmu kuimpikan
Relakan segalamu kuraih
Meski hanya mimpi

Jika besok aku bangun
Dan aku masih di pangkuanmu
Jangan melepasku sendiri,
Karena ternyata
Hatiku bisa salah.

Bali, 2009


Bosan

Aku bosan
Membeo pameo Romeo
dan Juliet
yang menurutku hanya sebentuk rodeo

aku juga bosan dengan
kisah peri tentang sayap
dan tongkat putihnya

aku hanya bosan
dengan genosida
yang mencincang hatiku
di  setiap jerit terakhir
para kurir langit.

Klungkung, 11-02-08


berpeluh

masih berpeluh
selama lakumu menghalangi hujan
menjamah bulir-bulir
yang aku tulis
di perut, dahi, dan telapak kaki ibu

berpeluh
selama nada-nada sombongmu
menggertak angin
sehingga hausku kerontang membusanan
di tenggorokan

masih berpeluh
selama lagumu
masih berjudul angkuh

Yogya, 11 Mei 2011

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More