Retoris
Pada kata seorang besar
Tertegun gelisah
Pada nyata seorang kecil
Namun tak ada cinta pada nyata
Sekedar kosong pada kata.
Sembego, 03-10-11
Serakah
Selalu banyak lalat pada buliran nasi di piring kecil kami
Bersayap mewah
Beralamat bukan pada selokan dan genangan kumuh
Namun pada warung megah nan harum
Mengapa selalu menyentilku yang hendak makan?
Lalu engkau rebut bulir-bulir itu?
Sembego, 03-10-11
Abjad Bergemuruh Tentang Bebatuan
Abjad-abjad bergemuruh
Bersama luapan-luapan lendir
Yang berlari dari tenggorokan
Menggema suara pada bebatuan yang kita hadapi
Ada kerikil memaksa menangis
Ada bongkahan memaksa sekarat
Bahkan nisan meminta duka
Sementara para mulut lantang berkoar
Seringkali tak acuh pada krama
Sesekali bercinta pada interupsi
Namun tak berlari menuju akhir
Dari bebatuan yang memaksa sengsara.
Sembego, 03-10-11
Hikayat Ironi
Muda interupsi
Kadang mencaci
Sering memaki
Tua entah bukti
Atau mungkin korupsi.
Sembego, 04-10-11
Berurutan Bebatuan
Satu, dua, tiga, empat
Selalu berurutan bebatuan
Tanpa ada gerimis memupus
Kampus, 04-10-11
Maaf Jika
Maaf, jika aku terlalu lusuh untuk memelukmu
Maaf juga andai aku terlalu kaku untuk membuatmu tersenyum
Karena aku masih terpukau pada lafadz-lafadz ironi dari sungging dusta bibir durja.
04-10-11
Lagi
Ini yang ke sekian
Engkau mencabikku yang terkulai
Di dalam ambulans
Dengan memar-memar bekas cakarmu dan teman-temanmu.
Kampus, 05-10-11
Luar Biasa
Luar biasa
Trotoar-trotoar itu masih digulum
Kaki-kaki lemah dan pasrah
Penyangga lampu di sampingnya
Juga masih digerayangi
Tangan-tangan kekar dengan ketapung dan tutup botol
Rintih-rintih mereka merasukku
Rantai nadanya beriring dengan kelip berganti
Hijau pergi, kuning was-was, dan merah terdiam
Luar biasa
Dalam lirik mereka
“Entah sampai kapan ...”
Kampus, 05-10-11
0 komentar:
Posting Komentar