Reshuffle, sebagai langkah redistribution of something, dapat dimaknai sebagai sebuah upaya untuk melakukan sebuah perubahan dalam tatanan kehidupan berbangsa. Sejatinya, dalam tujuh tahun pemerintahan SBY, reshuffle selalu beranjak dari niat untuk meningkatkan kinerja beberapa kementrian sehingga mampu berbuat lebih terhadap masyarakat Indonesia. Walaupun sampai saat ini belum ada catatan dan ungkapan yang mendeskripsikan secara jelas apa tolak ukur dari peningkatan kinerja tersebut. Dan hingga detik ini juga belum tampak efek positif dari niat peningkatan kinerja tersebut.
Upaya menyelesaikan problem kebangsaan merupakan salah satu orientasi dari reshuffle kabinet. Problem seperti kemiskinan, pengangguran, tingkat kriminalitas yang semakin meningkat, dan permasalahan lainnya diposisikan sebagai obyek yang mesti lenyap dari kehidupan masyarakat Indonesia. Berkaitan dengan reshuffle sebagai usaha peningkatan kinerja tersebut, maka salah satu langkah perluasannya adalah dengan menempuh “reformasi birokrasi”. Namun, dalam pergantian menteri, sebagai salah satu hak veto Presiden, seringkali menimbulkan beberapa poin yang mesti dijadikan catatan penting. Reshuffle, khususnya di Indonesia, faktanya telah menciptakan dua fenomena yang memprihatinkan, yaitu istilah “arisan kursi” dan “kursi warisan”. Secara sadar atau tidak, dua benalu ini merupakan “penumpang” yang senantiasa mengekor dengan segala kepentingan dan orientasinya.
Ungkapan “arisan kursi” merupakan indikator yang menunjuk kepada sebuah ironi yang menggelitik sekaligus menjengkelkan. Pola pergantian menteri pada sebuah institusi pemerintahan di negara ini, kadang menyerupai proses arisan. Menteri yang mengganti pendahulunya merupakan orang dengan tipe dan sosok yang sama. Sering kita jumpai dalam diri seorang menteri pendahulu dan menteri pengganti terdapat pandangan yang sama terhadap problematika yang sedang kita hadapi. Masalahnya, model pandangan mereka sama-sama terkesan kaku dan apatis terhadap problem kebangsaan. Biasanya, para pejabat yang bergelut dalam “arisan kursi” ini sama-sama mengejar kursi pada sebuah kementrian. Sekilas kita dapat mengamati bahwa ada beberapa politisi partai politik di negeri ini sedang menunggu giliran untuk menjadi menteri pada sebuah instansi. Dalam perihal seperti ini timbul sebuah ketakutan luar biasa yang menghantui masyarakat Indonesia. Kita sangat cemas apabila motif dari penantian politisi-politisi semacam ini adalah untuk kepentingan individu, golongan tertentu, atau untuk memperkaya diri ketika mendapati kesempatan untuk memenuhi hajat tersebut. Asumsi sejenis ini bukanlah tuduhan membabi buta, namun semacam pandangan antisipatif, yang hendak mengoreksi bentuk atau style pola pikir politisi negeri ini terhadap sebuah kursi atau jabatan. Ketika reshuffle ini didefinisikan sebagai sebuah arisan, maka tujuan untuk meningkatkan kinerja tadi (reshuffle) bukan lagi sebagai langkah redistribution of something, tetapi bergeser kepada distribusi kekuasaan. Mengartikan reshuffle sebagai ajang distribusi kekuasaan akan berujung pada hilangnya tujuan peningkatan kinerja, dan beralih kepada kepentingan-kepentingan lain yang tidak kita inginkan. Kontekstualisasi “arisan kursi” biasanya melibatkan para politisi dari partai politik yang berbeda-beda, dengan syarat mempunyai kapasitas dan kesempatan, atau mungkin juga memiliki kedekatan dengan pihak yang menentukan reshuffle tersebut.
Benalu yang kedua adalah fenomena “kursi warisan”. Adalah sebuah kenyataan yang sangat salah ketika memposisikan kursi pada sebuah instansi pemerintahan sebagai sebuah peninggalan atau warisan. Pandangan seperti ini berkaitan erat dengan konsep nepotisme. Pada aplikasinya, “kursi warisan” seringkali dimainkan oleh politisi-politisi yang berasal dari partai politik yang sama, atau dari golongan yang serupa. Salah satu prinsip yang sangat buruk dari politisi yang “bermain” dalam ajang “kursi warisan” ini adalah bagaimana upaya mempertahankan kursi menteri agar tetap berada dalam genggaman golongan mereka. Memperlakukan kursi menteri sebagai sebuah warisan merupakan sebuah pandangan yang sangat disayangkan, karena akan menghambat proses demokrasi yang kita anut.
Apapun bentuk reshuffle yang ditempuh oleh pemerintahan SBY, hendaknya mewaspadai dua benalu tersebut. Fenomena “arisan kursi” dan “kursi warisan” ditakutkan akan menimbulkan akibat yang lebih parah dari sebelumnya. Lahirnya “premanisme” dalam perpolitikan Indonesia, sejatinya juga merupakan salah satu implikasi dari dua penyakit tadi. Semoga reshuffle yang akan dilakukan oleh SBY selanjutnya benar-benar langkah yang menghadirkan menteri berkualitas dan memiliki integritas politik yang baik. Sehingga upaya peningkatan kinerja menjadi awal dari kesejahteraan rakyat Indonesia sebagaimana amanat Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Amin.
Oleh : Archduke Jr.
0 komentar:
Posting Komentar