Tugas yang sakral ini kemudian dalam praktiknya mengalami berbagai macam fenomena. Dapat kita saksikan sebagian mahasiswa mampu menjalankan tugas sebagai agent of change tersebut dengan baik, dan ada juga sebagian mahasiswa yang berlaku minimalis, tidak mampu menyelesaikan tugas tersebut, bahkan tidak jarang ada yang sama sekali tidak memikirkan motto prinsipil di atas. Artinya, bagi mereka menjadi mahasiswa hanya sekedar memerankan salah satu lakon dalam perjalanan strata akademik mereka.
Fungsi sebagai pembawa perubahan merupakan salah satu kewajiban yang tidak dapat dihapus dari kehidupan mahasiswa. Memang sudah sejak awal mahasiswa digadang dan ‘diklaim’ sebagai agent of change. Lantas apa yang mesti dirubah oleh mahasiswa? Fenomena-fenomena sosial, ekonomi, serta aspek-aspek lain dalam kehidupan yang tidak sesuai dengan harapan atau orientasi masyarakat merupakan satu dari sekian banyak hal yang harus dirubah oleh mahasiswa. Kebijakan yang seringkali bertentangan dengan hasrat rakyat, keputusan yang kadangkala bertolak belakang dengan keinginan khalayak umum juga merupakan poin-poin yang menjadi obyek misi perubahan yang diusung. Meminjam istilah Rheinald Kasali, Ph.D., bahwa perubahan didorong oleh beberapa faktor, di antaranya sebagai pertanda kehidupan dan pemberi harapan. Maka untuk senantiasa memberikan secercah harapan kepada rakyat yang kadangkala ‘kecewa’, mahasiswa harus membentuk sebuah perubahan dalam masyarakat.
Selain alasan-alasan di atas, faktor yang menyebabkan mahasiswa didaulat sebagai corong perubahan adalah karena aspek sejarah. Dalam rekam jejak perjalanan bangsa ini, selalu ada partisipasi dan peran aktif dari mahasiswa yang mencurahkan kehidupannya untuk kemajuan dan perubahan positif bagi bangsa Indonesia. Bahkan sejak sebelum kemerdekaan, mahasiswa telah memulai tugas agent of change ini. Dimulai dari Boedi Oetomo sebagai media perjuangan dengan struktur pengorganisasian modern. Badan yang merangkul pemuda, pelajar, dan mahasiswa ini didirikan di Jakarta pada tanggal 20 Mei 1908. Orientasi dari organisasi ini adalah terciptanya kemajuan yang selaras bagi bangsa dan negara dalam berbagai aspek kehidupan. Sedangkan mahasiswa-mahasiswa Indonesia yang sedang mengenyam pendidikan ikut berpartisipasi dengan mendirikan Indische Vereeninging yang kemudian berubah nama menjadi Indonesische pada tahun 1922. Salah satu anggotanya adalah Mohammad Hatta yang saat bersamaan sedang belajar di Nederland Handelshogeschool di Rotterdam. Di antara misinya adalah untuk menumbuhkan sikap kebangsaan dan mengobarkan api kemerdekaan dalam diri masyarakat Indonesia. Pada tahun-tahun berikutnya muncul kelompok-kelompok studi yang ikut menyuarakan perubahan, di antaranya adalah Kelompok Studi Indonesia (Indonesische Studie-club) yang diprakarsai oleh Soetomo, Kelompok Studi Umum (Algemeene Studie-club) yang dimotori oleh Soekarno. Ada juga Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia (PPPI), Kelompok Studi St. Bellarmius, Cristelijke Studenten Vereninging (CSV), dan Studenten Islam Studie-club (SIS), serta masih banyak lagi organisasi mahasiwa. Keseluruhan dari badan-badan bentukan mahasiswa di atas merupakan wujud yang merefleksikan partisipasi aktif dari mahasiswa saat itu untuk menciptakan perubahan yang lebih baik bagi masyarakat Indonesia.
Lalu apa langkah mahasiswa sekarang? Upaya awal yang mesti ditempuh adalah menghindari sikap yang membuat kita malu di hadapan pendahulu kita. Sederhananya, jangan sampai perjuangan serta partisipasi mereka dahulu hanya dijadikan sebagai catatan yang memenuhi cerita-cerita sejarah. Semestinya kita menindaklanjuti upaya mereka untuk menghadirkan perubahan dalam masyarakat Indonesia. Sebab kita seharusnya malu kepada mereka (mahasiswa-mahasiswa pejuang tempo dulu) jika kita hanya berpangku tangan, tanpa upaya realisasi motto prinsipil tadi, sebagai agent of change. Jangan sampai menjadi mahasiswa yang monoaksi: datang-duduk-diam.
Oleh : Archduke Jr.
0 komentar:
Posting Komentar