Sabtu, 29 Oktober 2011

METAMORFOSA PARADIGMA

Lamun kuwus kalah nusantara isun amukti palapa” (Sumpah Palapa).

Sumpah monumental di atas merupakan sebuah komitmen yang diucapkan oleh salah satu pelaku sejarah yang paling dihormati dalam leksikon perjalanan bangsa Indonesia. Patih Gajah Mada merupakan tokoh paling dihargai yang telah mengukir sebuah perubahan besar dengan konsep Sumpah Palapa, yaitu menyatukan nusa-nusa yang tercecer ke dalam bingkai satu nusantara.
Setelah diadakan pendalaman interpretasi, dapat disimpulkan bahwa Sumpah Palapa merupakan sebuah konsep yang berawal dari keinginan untuk melakukan “metamorfosa paradigma”, karena kemungkinan pada saat itu Patih Gajah Mada menyaksikan sebuah paradigma masyarakat yang tidak mendukung terbentuknya sebuah kekuatan besar. Singkatnya, perubahan atau metamorfosa paradigma merupakan rahim yang melahirkan kesatuan nusantara.

Perubahan merupakan terma yang seharusnya bersifat kontinuitas, khususnya di bangsa Indonesia. Perubahan merupakan “anak kandung” dari problematika dan konflik kehidupan. Tanpa ada problematika maka perubahan pun tidak memiliki ruang untuk bereksistensi dalam ranah kehidupan manusia. Semangat perubahan merupakan jalan untuk menyelesaikan variasi problematika individu dan kebangsaan di Indonesia. Salah satu problem kehidupan masyarakat Indonesia saat ini adalah terjadinya gap antara patih negeri dan jelata, atau seringkali disebut sebagi ruang pemisah antara petinggi sekaligus pemegang kendali pemerintahan dengan rakyat biasa. Ketika kita kehabisan resep untuk mengobati kekecewaan terhadap beberapa pihak yang mengakibatkan ketimpangan kehidupan dan kecompangan keseharian kita, maka konsep metamorfosa masih dapat diandalkan sebagai sebuah obat yang tidak mudah hilang.

Sejatinya, konsep perubahan atau metamorfosa terbagi menjadi dua macam, yaitu metamorfosa paradigma dan metamorfosa fisik sebagai kelanjutan atau tahap realisasi dari metamorfosa paradigma. Merujuk kepada list pengalaman dalam rekam jejak bangsa Indonesia yang bertemakan “perubahan” atau “metamorfosa”, maka dapat dipastikan bahwa metamorfosa fisik tidaklah cukup karena seringkali ditepis oleh pihak yang berdiri di atas keegoisan, sehingga berakhir pada inequality dan konflik atau problematika kehidupan, termasuk probem gap antara patih negeri dan jelata tadi.

Salah satu konsep yang harus kita sadari sebelum membicarakan problematika dalam diskusi publik adalah bahwa kehidupan manusia (termasuk kita) merupakan akumulasi segmentasi peristiwa yang akhirnya bergumul dan membeku menjadi sebuah catatan sejarah. Sebuah penegasan mengatakan bahwa siapapun yang berstatus manusia tidak memiliki kuasa untuk menghindari konsep segmentasi kehidupan ini. Stratifikasi atau pengelasan sosial, perbedaan peran secara natural dan struktural, serta perbedaan gelar sosial merupakan beberapa bentuk segmen yang membentuk sebuah kehidupan. Kesalahan dalam menyikapi perbedaan dan stratifikasi inilah yang akhirnya menimbulkan problematika dan konflik. Hal ini didukung oleh teori yang dikemukakan oleh Schelling bahwa keterlibatan dalam sebuah masyarakat yang majemuk dalam berbagai aspek merupakan sisi yang potensial untuk menimbulkan konflik (cooperative engagements). Maka semakin jelas apa konklusi dari pembahasan awal dalam kajian ini. Gesekan-gesekan dalam memberikan statemen lisan dan aksi nyata terhadap segmen kehidupan merupakan sebab lahirnya problematika kehidupan. Problematika kehidupan menjadi salah satu poin penting dalam pembahasan terma perubahan  karena problematika kehidupan merupakan faktor utama lahirnya terma perubahan atau metamorfosa. Konsep atau kehendak untuk berubah dan bermetamorfosa tidak akan pernah timbul jika tidak terjadi problematika dan konflik sebelumnya dalam rangkaian segmen kehidupan manusia. Dalam hal ini berkaitan erat dengan teori kausalitas.

Membaca negeri ini sama halnya dengan menyimak varian trouble yang melingkupi hampir semua aspek kehidupan. Persentase sekilas menunjukan hampir keseluruhan berita merupakan suara yang menyanyikan problem kehidupan, baik yang rekayasa maupun non-fiktif. Mengkaji korupsi, mendiskusikan permainan politik, mewacanakan “sinetron” dalam skenario roda perekonomian, dan topik lainnya merupakan pelecut semangat melakukan sebuah hal yang baru yang lebih baik. Secara implisit, sekali lagi segmentasi kehidupan atau periodisasi berlaku dalam suasana kebangsaan. Hal semacam inilah yang mendorong kita untuk melakukan sebuah perubahan atau metamorfosa. Lebih jauh lagi dibutuhkan sebuah penguatan perspektif bahwa semangat bermetamorfosa merupakan jalan terbaik yang mesti kita tempuh jika masih menginginkan keadaan yang lebih baik. Jika dikontekstualisasikan dengan kondisi kebangsaan dewasa ini, maka jenis metamorfosa yang layak ditempuh di sini mengerucut pada jenis “metamorfosa  paradigma” atau perubahan perspektif dan cara pandang terhadap sesuatu, termasuk dalam memberikan sebuah penilaian terhadap problematika dan segmen kehidupan manusia.

Sangat banyak model paradigma awak bangsa ini yang wajib dirubah. Seorang pejabat atau petinggi negeri harus merubah paradigma keegoisan menjadi paradigma kemashlahatan umum, seorang rakyat biasa wajib melakukan metamorfosa paradigma yang sebelumnya pasrah terhadap kebijakan yang kadangkala tidak berpeluang melahirkan perbaikan atau paradigma yang apatis terhadap urusan kebangsaan menjadi paradigma simpati dan tidak mudah menyerah. Salah satu paradigma yang lebih penting untuk dimetamorfosis adalah paradigma mahasiswa yang mendefinisikan kuliah sebagai prediksi profesi, karena begitu banyak korban “kekeliruan intelektual” semacam ini. Kuliah bukan hanya sekedar proyeksi profesi yang akan dijalani pada masa depan yang menyebabkan keterbatasan medan pembelajaran mahasiswa, akan tetapi merupakan sebuah periode yang mesti dilewati dengan gemilang, dan tanpa mengenal batas jenis perkuliahan. Mahasiswa mestinya memiliki paradigma integrasi-interkoneksi—teori yang ditawarkan oleh Prof. Amin Abdullah (Mantan Rektor UIN Sunan Kalijaga)—bahwa kekayaan yang dimiliki oleh mahasiswa bukan hanya terpaku pada kekayaang intelektual, akan tetapi juga meliputi kekayaan spiritual dan emosional yang berfungsi sebagai penyeimbang perilaku dan aksi intelektual.[1] Seorang individu juga harus menyadari pentingnya sebuah perubahan atau metamorfosa paradigma. Ada beberapa contoh metamorfosa yang dilakukan oleh beberapa tokoh terkenal, seperti Lech Walesa yang melakukan “metamorfosa” perannya dari seorang tukang listrik Pelabuhan Gdansk menjadi Presiden Polandia dan akhirnya meraih Nobel Perdamaian. Ada lagi Ronald Reagan, aktor kelas B yang merubah dirinya menjadi Gubernur California dan kemudian menjadi Presiden Amerika Serikat. Vladimir Putin, dari Agen KGB menjadi Presiden Rusia, Raymond Johansen yang merubah dirinya dari seorang tukang ledeng menjadi seorang mentri di Norwegia. Indonesia juga memiliki PB Soedirman yang mampu merubah dirinya dari seorang guru menjadi tokoh kemanusiaan, kemudian menjadi anggota Daidancho PETA, dan pada akhirnya menjadi seorang Panglima Besar Tentara Keamanan Rakyat.[2] Semua jenis alur transformasi kehidupan yang ditempuh oleh tokoh-tokoh di atas merupakan aplikasi dari semangat perubahan. Nelson Mandella semakin mempertegas tentang semangat metamorfosa ini melalui imbauannya kepada pendukungnya, “Pick up the stones from the streets, the time to fight is over, now is the time to build”. Ada kehendak untuk merubah keadaan menjadi lebih baik lagi dari sebelumnya. Semangat semacam ini yang wajib diteladani oleh masyarakat Indonesia tanpa dibatasi oleh sekat golongan dan jenis kalangan ia berasal, rute transformasi dan reformasi model kehidupan yang wajib ditiru oleh rakyat biasa hingga pemimpin tertinggi negeri ini. Di sinilah pentingnya metamorfosa paradigma, yang akan merubah model aksi kita dalam menyikapi masalah dan problematika kehidupan, termasuk menyelesaikan problem korupsi, politisasi aspek kehidupan, serta berbagai macam skematika dan rancang tubuh problematika individu dan kebangsaan.  Metamorfosa paradigmalah yang bertanggungjawab terhadap lahirnya perubahan besar dalam segmentasi kehidupan umat manusia.


0leh       : Archduke Jr.



[1] Lihat “ESQ : Emotional Spiritual Quotient” karya Ary Ginanjar Agustian, diterbitkan oleh Penerbit Arga Jakarta
[2] Lihat “Harus Bisa” karangan Dino Patti Djalal

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More