Sabtu, 29 Oktober 2011

MENGUKUR PERAN MAHASISWA DALAM KONTEK KEINDONESIAAN MASA KINI DAN MENAKAR PROSPEK PADA MASA YANG AKAN DATANG ( Sebuah Kerangka Konseptual )


“Aku duduk tenang, setenang telaga nan tak terjamah limbah, menerawang sambil melihat pak dan ibu guru yang menulis gamang. Kawan di belakangku menjerit dan berlari keluar dengan kencang, katanya: di sela-sela dinding sekolah yang berlobang-lobang bermunculan ribuan tikus yang sedang mengigit uang, menari-nari sambil menyenandungkan lagu balada kecoak yang kehilangan tempat bersembunyi” (F. Maulidah, 2005).[1]


[1] Sunardi, S.H., M.H. dalam Republik Kaum Tikus
Definisi Mahasiswa Dalam Kata-Kata Sederhana
            Mendefinisikan mahasiswa dalam pengertian yang praktis dan sederhana dapat kita simpulkan dengan menengok lagi asal kata mahasiswa itu sendiri. Kata mahasiswa merupakan gabungan dari kata “maha” dan “siswa” untuk menunjuk komunitas pengenyam pendidikan pada jenjang pasca menengah atas. Drs. Rizky Maulana dalam bukunya yang berjudul “Kamus Praktis Bahasa Indonesia” mendefinisikan kata “maha” sebagai tingkatan tertinggi dalam suatu tatanan atau struktur posisi. Sedangkan kata “siswa” berarti murid. Maka mahasiswa berfungsi untuk menyebut mereka yang menimba ilmu pada level tertinggi dunia pendidikan yaitu kampus.

Menggugat Motto “Mahasiswa Sebagai Agent of Change”
            Motto merupakan salah satu identitas sebuah individu / partikel maupun sebuah komunitas. Maka mahasiswa ( khususnya mahasiswa Indonesia ) sebagai salah satu komunitas dengan anggota yang majemuk, memiliki motto yang sangat luar biasa, yaitu “Mahasiswa sebagai agent of change”. Mahasiswa sering digaungkan ( atau setidaknya menggaungkan diri ) sebagai agen perubahan dalam suatu bangsa. Namun dalam sejarah perjalanannya mahasiswa sering keluar dari gerbong konseptual motto tadi. Di samping kearifan dan kisah positif dunia kemahasiswaan, kita juga tidak bisa menyembunyikan tinta hitam yang diukir oleh mahasiswa dalam rentetan kisah-kisah kebobrokan. Kita bisa menyodorkan beberapa kasus seperti kasus keonaran yang dilakukan mahasiswa dalam lingkup kampus, semacam tawuran antar fakultas dalam konteks internal mahasiswa, dan lain sebagainya. Lalu perubahan semacam apa yang akan kita harapkan dari mahasiswa? Akan kita kemanakan motto mahasiswa sebagai agent of change? Apakah motto tadi hanya sebatas retorika tak beralasan yang menjemukan atau harus diaplikasikan dalam bentuk peran praktis?

Mengukur Peran Mahasiswa Dalam Kontek Keindonesiaan Masa Kini
            Memunculkan wacana peran mahasiswa Indonesia ke permukaan merupakan tindakan evaluatif bagi mahasiswa sendiri, sehingga bisa memperbaiki kinerja pada masa-masa yang akan datang. Menelisik peran mahasiswa dalam kontek keindonesiaan memaksa kita untuk berkosentrasi pada pembahasan tentang peran mahasiswa Indonesia secara khusus. Secara garis besar mahasiswa Indonesia terbagi menjadi dua kelompok dari sisi “peran” atau aspek fungsi. Pertama, mahasiswa Indonesia aktif, yaitu mereka yang menjalankan peran yang sejalan dengan amanat motto tersebut di atas. Aktivitas mereka merupakan implementasi konsep mahasiswa sebagai agent of change. Mahasiswa jenis ini mampu menyodorkan perubahan yang aplikatif, dalam bingkai idealisme yang memihak rakyat. Peran mereka sangat dirasakan oleh rakyat Indonesia, baik dalam aspek ekonomi, pendidikan, sosial, maupun aspek kehidupan yang lainnya. Mereka melakoni peran yang sangat vital dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Jika Inayah Rohmaniyah, M.Hum, M.A mengatakan bahwa pendidikan merupakan sarana transformasi dan transfer ilmu pengetahuan yang akan melahirkan manusia yang beradab yang mampu menciptakan kesejahteraan dan kebahagiaan ummat manusia,[1] maka mahasiswa Indonesia secamam inilah jawabannya. Mereka adalah mahasiswa yang memenuhi beberapa kriteria sebagai karakter dasar dalam diri mereka yaitu kreatif, aktif, idealis realistis, humanity, kuat imunitas fisik dan rohani, dan sisi positif lainnya. Kedua, mahasiswa Indonesia pasif yaitu mahasiswa yang tidak mampu melakukan apapun, selain belajar tekstual dengan berkutat pada teori-teori non aplikatif. Mahasiswa semacam ini tentunya keluar dari konsep mahasiswa sebagai agent of change. Basic character dari mahasiswa jenis ini adalah pasif, pemikiran yang jumud, apatis terhadap kondisi sosial, kemampuan problem solving yang sangat minim, dan sebagainya. Yang paling penting untuk diperhatikan dari mahasiswa jenis ini adalah ketakutan jika mereka akan jatuh kedalam salah satu tujuh dosa sosial sebagaimana yang dikemukakan oleh Mahatma Gandhi yaitu : politics without principle, wealth without work, pleasure without conscience, knowledge without character, commerce without morality, science without humanity, worship without sacrifice.[2] Jika mahasiswa masuk ke salah satu model ketakutan di atas, maka sia-sialah konsep mahasiswa sebagai agent of change. Karena tidak ada lagi yang bisa diharapkan dari mahasiswa.
            Sejauh ini mahasiswa Indonesia menjalankan peran mereka yang cukup urgen sebagai motor yang menyuarakan perubahan. Mahasiswa dan pemuda pendahulu kita telah memberikan beberapa bukti tentang peran mahasiswa Indonesia. Beberapa di antaranya  adalah peran pemuda yang menggema pada 1908 yang merupakan bagian dari proses lahirnya Sumpah Pemuda. Kemudian pada tahun 1966 mahasiswa bersama ABRI bersama rakyat berperan melahirkan Orde Baru yang meruntuhkan supremasi Orde Lama yang dianggap sebagai kebijakan yang tidak memihak rakyat lagi. Tahun 1977 / 1978 mahasiswa melakukan tindakan korektif menentang kecurangan Orde Baru dalam pelaksanaan pemilu. Serta yang paling spektakuler adalah gerakan mahasiswa dalam meruntuhkan rezim Orde Baru pada tahun 1998.[3] Lalu belakangan ini mahasiswa juga berperan aktif dalam menentang kebijakan pemerintah yang kontra atau berseberangan dengan idealisme kerakyatan. Hal ini ditandai dengan adanya demonstrasi mahasiswa maupun upaya diplomasi. Namun kita juga tidak bisa mengingkari bahwa tidak semua mahasiswa Indonesia menjadi garda yang menyanyikan suara perubahan. Berapa banyak alumni universitas yang di wisuda dengan meriah, namun kemudian hanya menjadi patung di masyarakat tanpa ada peran apapun yang bisa melahirkan perbaikan sebagai bagian dari perubahan yang sebelumnya mereka teriakkan. Berapa banyak sarjana yang pada akhirnya hanya menjadi antek kriminalitas dan kacung masyarakat. Inilah kenyataan yang harus kita terima. Inilah fakta yang harus kita ubah. Sehingga mahasiswa Indonesia benar-benar menjadi agent of change. Tidak hanya retorika teoritis semacam teatrikal kosong yang tidak ada artinya. Yang harus disadari oleh mahasiswa Indonesia adalah bahwa masyarakat Indonesia sedang mengalami “stres berat”[4] dan terancam mengalami fenomena “generasi yang hilang”[5]. Mahasiswa Indonesia harus menyelesaikan problem seperti itu dengan suara perubahan yang mereka yakini.

Menakar Prospek Peran Mahasiswa Indonesia Pada Masa Yang Akan Datang          Meraba bentuk peran mahasiswa Indonesia pada masa yang akan datang merupakan sesuatu yang unpredictable. Namun kita masih bisa membuat satu gambaran, akan seperti apa peran mahasiswa Indonesia tersebut pada masa-masa selanjutnya. Dari segi anteseden-kongklusi, kita bisa menyimpulkan bahwa setidaknnya ada dua model mahasiswa Indonesia pada masa yang akan datang. Pertama, mahasiswa Indonesia akan menjadi komunitas mayoritas / minoritas penggugah jika mereka memenuhi syarat sebagai kelompok mahasiswa jenis pertama tadi, yang aktif, kreatif dan tidak hanya mampu berkoar dengan retorika kosong tanpa ada implementasi. Secara kasat mata kita bisa membaca bahwa model mahasiswa jenis ini akan mempunyai peran yang sangat penting dalam kehidupan bermasyarakat. Jika peran mahasiswa jenis ini melakukan “perkawinan” dengan sumber daya Indonesia yang melimpah, maka kita akan menyaksikan Indonesia sebagai “naga besar”, sebagai konsekuensi positif dari perubahan yang mahasiswa gaungkan.[6] Kedua, mahasiswa Indonesia akan menjadi komunitas mayoritas / minoritas terjajah jika mereka memenuhi semua kriteria kelompok mahasiswa jenis kedua, yaitu pasif, apatis, dan lain sebagainya. Jika model ini yang terbentuk, maka kita hanya bisa berkata “selamat datang di Indonesia yang hancur”.

Awaking Voice
Mahasiswa takut pada Dosen
Dosen takut pada Dekan
Dekan takut pada Rektor
Rektor takut pada Menteri
Menteri takut pada Presiden
Presiden takut pada Mahasiswa.


[1] Inayah Rohmaniyah, M.Hum, M.A dalam Meraih Prestasi di Perguruan Tinggi
[2] Mahatma Gandhi dalam Young India 1925
[3] Buku Orientasi Pengenalan Akademik dan Kemahasiswaan 2010, hal. 22
[4] Adrianus Meliala, Kompas 16 Juni 2004
[5] Bupati Merauke  dalam Pasti Bisa karangan Dino Patti DJalal
[6] Sebagaimana disampaikan oleh Francois Raillon, peneliti senior dari Centre National de la Recherche Scientifique Paris sebagaimana dibawakan oleh HD. Haryo Sasongko dalam Kerukunan Beragama, Daulat Politik dan Kereta Reformasi

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More