Membaca leluhur dalam paras masa lalu adalah laksana membaca wajah kita sendiri. Seringkali, keinginan pendahulu kita adalah wujud kehidupan kita sekarang. Seringkali pula, ketakutan tokoh-tokoh masa lalu merupakan kenyataan yang kita alami pada masa sekarang. Salah satunya adalah ketika kita mendalami Mahatma Gandhi dan pemikirannya. Beliau adalah salah satu tokoh yang dihormati sejarah. Salah satu ketakutannya benar-benar menjadi realitas dalam perjalanan hidup kita masa kini.
Mahatma Gandhi pernah mengkhawatirkan masyarakat dunia akan jatuh ke dalam salah satu lubang dari tujuh lubang kenistaan. Beliau merumuskan sebuah formulasi tentang tujuh keadaah yang wajib dihindari oleh pelaku kehidupan masa berikutnya. Formulasi tersebut kemudian dikenal dengan nama Tujuh Dosa Sosial (Seven Social Sins), yaitu: “Politics without principle, wealth without work, pleasure without conscience, knowledge without character, commerce without morality, science without humanity, worship without sacrifice”.[1] Dalam terjemahan bebasnya dapat dibahasakan seperti berikut: “Polititk tanpa prinsip, kekayaan tanpa proses kerja, kesenangan yang dinikmati tanpa suara hati, ilmu pengetahuan tanpa karakter, perniagaan tanpa mengindahkan nilai moral, sains yang melupakan sisi kemanusiaan, dan ibadah tanpa melewati jalan pengorbanan”.
Bukanlah ketakutan yang berlebihan karena kenyataanya formulasi tujuh dosa sosial yang dikhawatirkan oleh Mahatma Gandhi ini benar-benar terjadi dan berlangsung dalam tatanan masyarakat dunia dan Indonesia khususnya. Dalam lingkup Indonesia, kita tidak bisa mengkhianati kebenaran tentang sebuah kenyataan pada seluruh aspek kehidupan bangsa Indonesia, baik yang asasi maupun yang non-asasi. Praktisnya, tujuh dosa sosial milik Nelson Mandella ini dalam masyarakat modern berbentuk krisis yang terus bergulir begitu cepat, bahkan konsep-konsep yang ditawarkan oleh beberapa kalangan untuk melakukan sebuah terobosan dalam kehidupan berbangsa seringkali berbenturan dengan paradigma individualitas dan golongan yang masih kental dan melekat sebagai tradisi. Konsep perubahan, demokrasi, dan berbagai jenis gerakan di negeri ini malah membuat kita semakin terpuruk secara politis-ekonomis, iptek, serta tatanan sosio-kultural dan semakin jauh dari agama dan moral. Maka wajar jika M. Tolhach Hasan mengingatkan kita bahwa hendaknya konsep perubahan dan gerakan lainnya berkonsekuensi perbaikan dalam tatanan sosial kemasyarakatan, bukan berimplikasi sebaliknya, yaitu berefek negatif dan kadangkala mengerucut ke arah degradasi kesejahteraan dan kemakmuran yang telah dinikmati oleh masyarakat ataupun yang belum dicapai. (Lihat M. Tolhah Hasan dalam Islam dan Masalah SDM).
Ketika menengok suasana Indonesia melalui paparan surat kabar, uraian televisi, serta ulasan berita di radio dan media informasi lainnya, maka tujuh dosa sosial tadi bukan lagi sekedar purbasangka belaka, karena hakikatnya tujuh dosa sosial yang dikemukakan oleh Mahatma Gandhi memang telah beranjak pada tahap realitas sejak lama. Ayat-ayat dalam konsep tujuh dosa sosial tadi layaknya sebuah rantai peristiwa yang tidak mengenal kata terminasi. Contoh nyata, pertama, politik di Indonesia telah kehilangan sebagian jati diri sehingga prinsip kebijaksanaan yang awalnya ditawarkan oleh konsep politik tidak lagi dipakai. Politik tanpa prinsip dan karakter telah ditetapkan sebagai politik yang purna. Padahal politik seharusnya melalui proses purifasi paradigma, sehingga lebih mementingkan asas konsep politik itu sendiri, yaitu kebijaksanaan yang berimplikasi kemashlahatan. Kedua, kasus korupsi yang menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara terkorup di dunia menunjukan bahwa mayoritas kekayaan yang dimiliki oleh orang-orang besar di Indonesia merupakan pendapatan yang diraih tanpa proses kerja keras. Harus disadari bahwa korupsi merupakan salah satu faktor yang menyebabkan adanya dehidrasi perbaikan dalam struktur kehidupan bangsa Indonesia. Ketiga, begitu banyak orang yang menikmati kesenangan hidup yang cukup, tidak lagi peduli kepada masyarakat yang menghuni strata sosial di bawahnya, seperti penunggu lampu merah atau penyanyi tak dikenal di setiap terminal di Indonesia. Keempat, ilmu pengetahuan yang awalnya didaulat sebagai pencerah dunia, tidak lagi memiliki karakter, salah satunya karena pelaku yang bergelut dalam ranah ilmu pengetahuan lebih mementingkan nilai sebagai formalitas daripada kualitas output. Kelima, dunia perdagangan di Indonesia hampir kehilangan sisi moral. Buktinya, pintu improvisasi keseimbangan dalam percaturan perniagaan hampir tertutup bagi kalangan bawah. Keenam, sains dan teknologi yang tidak memiliki sisi kemanusiaan, padahal sains dan teknologi mestinya berfungsi sebagai peletak kesejahteraan dan memudahkan masyarakat dalam kehidupan sosial. Sains lebih cenderung kepada nilai komersial daripada menjunjung nilai asas manfaat. Ketujuh, ibadah tanpa pengorbanan. Dalam aspek aktivitas keagamaan, begitu banyak individu yang lebih mementingkan hasil ibadah daripada proses. Sehingga cara mistis pun menjadi sebuah metode instan dalam mencapai orientasi ibadah. Contoh-contoh di atas merupakan kenyataan kekhawatiran seorang Mahatma Gandhi, maka alangkah bijaknya apabila selanjutnya kita mengaplikasikan pemikiran Mahatma Gandhi yang lainnya, bahwa “The man purpose of life is to live rightly, think rightly, act rightly”. Selamat mencoba.
Oleh : Pentor Jr.
0 komentar:
Posting Komentar